Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Paskah Cuma Upacara Peringatan Tahunan

30 Maret 2018   10:56 Diperbarui: 3 April 2018   14:46 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Paskah, dalam realitas persepktif saya selama ini, merupakan upacara peringatan tahunan saja. Ucapan demi ucapan santun menjadi pemanis buatan yang benar-benar kehilangan hakikat/esensi. Seperti juga Natal. Orang Kristen berduyun-duyun ke gereja sebagaimana biasa sebuah upacara peringatan tahunan.

Mengapa begitu?

Bukan satu-dua kali saya mengalami hal-hal tanpa kasih Kristus yang dilakukan oleh sesama orang Kristen sendiri. Kalau bicara mengenai Paskah dan Natal, aduhai, seolah-olah sudah benar-benar mampu melakukan kasih. Padahal, ah, sekadar pemanis buatan.  

Ya, pemanis buatan seperti kampanye oknum dengan slogan dan senyum di poster dan baliho menjelang Pemilu. Pemanis buatan yang bisa mendadak seseorang terlihat sopan dan terdengar santun pada suatu situasi tertentu. Aduhai banget deh.

Jujur saja, saya bukanlah orang Kristen yang mudah percaya pada setiap ucapan bertabur kasih plus Kristus. Tidak sedikit saya menjumpai orang Kristen yang memanfaatkan "kasih Kristus" untuk tujuan yang sama sekali "tanpa kasih Kristus".

Kata tanpa perbuatan (KTP) adalah ciri khas yang saya temui. Kalau mereka bicara soal pengorbanan, oh, aduhai sekali. "Aku rela berkorban untukmu" atau "aku mengasihimu" tidaklah lebih dari selembar gombal yang berulang-ulang. Namanya juga gombal, biasalah.

Saya mengatakan ini sebagai realitas yang tidak perlu malu saya akui sebagai orang Kristen. Tidak sedikit orang Kristen mengaku-aku sebagai murid Yesus Kristus. Ah, gombal lagi. Sejatinya justru murid Simon Petrus, yang begitu ganas-brutal di Taman Getsmany. Disinggung sedikit agamanya, mengamuklah mereka ibarat sumbu pendek. Seakan membela agama, padahal sikap itu justru warisan Simon Petrus di Taman Getsmany.

Sebagian lainnya malah murid Yudas Iskariot yang sibuk mengumpulkan harta, termasuk berkonspirasi dengan kejahatan oknum birokrasi, semata-mata untuk menyenangkan nafsu keduniawiannya. Kekayaan sering di-amin-kan sebagai indikator berkat-kasih Tuhan dengan seenaknya berpegang pada "teologi kemakmuran" yang sangat menyesatkan, padahal "lebih mudah seekor unta masuk lubang jarum daripada orang kaya masuk surga".

Bahkan ada yang sebenarnya murid Yesus Barabas. Tidak peduli siapa yang sengsara, asalkan dirinya bebas dari segala tuntutan. Eh, siapa Yesus Barabas? Ah, cari saja sendiri lewat Google.

Saya termasuk murid Thomas. Saya sama sekali tidak pernah percaya pada klaim-klaiman orang Krsiten sebagai murid Yesus Kristus. Usia saya lebih 40 tahun, dan saya sudah menemukan banyak orang Kristen yang selalu menaburkan pemanis buatan dalam kata-kata. Sama sekali tidak ada yang berani menjadi seperti Yesus Kristus ketika menghardik, "Hai keturunan ular beludak..."

Oh, lupa, ya, Yesus Kristus justru memiliki kasih yang begitu berani memaki "keturunan ular beludak" atau mengamuk habis-habisan di Bait Allah karena Bait Allah dijadikan arena bisnis? Lupa, ya, Yesus Kristus tidak memiliki kasih kamuflase yang seperti Yudas Iskariot? Lupa, ya, Yesus Kristus tidak memiliki kasih seperti Simon Petrus di Taman Getsmany yang heroik lantas melempem seperti kerupuk kehujanan menjelang pengadilan atas penistaan agama yang didakwa kepada Yesus Kristus?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun