Dar-der-dor!
Dar-der-dor!
Suara senjata di pelosok sana telah menerobos hingga ke jantung kota. Sedangkan senjata menyalak di antara gedung-gedung, menggema hingga ke kalbu keheningan hutan. Ada perang, bukan perang-perangan! Ada teror, bukan teror-teroran! Saya kira para prajurit tengah berlatih perang. Ternyata…
Yang bersenjata api melawan yang bersenjata api. Peluru melawan peluru. Mesiu versus mesiu. Aparat menembaki aparat. Aparat berseteru dengan rakyat. Kawan melawan kawan. Teman menembak teman. Anak kecil bermain bedil. Orang dewasa pun akrab dengan senjata. Nasib nyawa berada di ujung senjata. Saya tergidik.
Yang bersenjata api atau yang boleh menenteng sekaligus menembak, siapa lagi kalau bukan… Dar-der-dor! Suara apa lagi itu di ruang keluarga saya kalau bukan...
Ya, ya, ya, saya sedikit memahami hakikat sepucuk senjata. Melalui tulisan mbeling ini serta diiringi lagu “Serdadu”-nya Iwan Fals, saya ungkapkan apa saja yang sedikit saya pahami itu.
Senjata tidak mengenal kekuasaan Tuhan. Senjata tidak menganut agama. Senjata tidak mengenal hakikat kemanusiaan. Senjata tidak mengerti hakikat cinta kasih, hukum-norma-kaidah-keadilan, dan keadaban. Soal Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, cinta kasih, hukum-norma-kaidah-keadilan, dan keadaban adalah musuh-musuh bagi mesiu. Inilah perihal paling utama saya pahami.
Senjata sangat individual, super egois, ugal-ugalan, dan semau gue. Tidak bisa diajak dialog, diskusi, diplomasi, atau bertukar pikiran. Kata-kata senjata berupa peluru-peluru yang sama sekali tidak bernurani alias anti belas kasihan. Tidak ada demokrasi di hadapan moncong senjata. Oleh karenanya, tentu saja tidak akan pernah terjalin adanya sebuah hamonisasi dalam suatu interaksi sosial jika mulut manusia terpaksa berhadapan dengan moncong senjata.
Senjata tercipta hanya untuk membunuh. Titik! Itulah esensi atas penciptaan sebuah senjata. Maka, oleh esensi itu, roh pembunuh dan pembinasa hidup dalam sepucuk senjata. Roh itu selalu bersiaga penuh dan bergentayangan untuk merasuki jiwa-jiwa yang labil, batil, dan degil. Bisa saya bayangkan jika jiwa-jiwa kerdil bersliwar-sliwer sambil menyandang bedil.
Senjata juga selalu menggoda, merayu, membujuk serta menghasut untuk memungkasi suatu masalah tanpa perlu repot membuang-buang waktu percuma. Senjata akan berdusta bahwa dialah sahabat sejati bahkan juru selamat bagi setiap manusia. Senjata seolah memberi garansi bahwa dia akan membantu seluruh daya-upaya manusia memperoleh segala sesuatu. Dia menggombal, akan selalu membela kepentingan si pemegangnya hingga letusan peluru terakhir.
Senjata adalah alat penunjang bagi sebuah niat – niat untuk mencederai, melukai, menyiksa, bahkan membinasakan. Esensi senjata adalah untuk itu. Jangankan senjata api, membawa senjata tajam saja bisa diindentikkan dengan sebuah niat melukai. Gawatnya kalau senjata memperalat niat!
Senjata adalah alat penakluk, pembekuk, pemberangus, pembungkam, dan petarung paling agresif-reaktif. Orang-orang yang membawa senjata senantiasa bertujuan untuk itu. Motivasinya hanya itu, meski apa pun modusnya. Senjata bisa membunuh siapa saja, termasuk membunuh si pemegangnya sendiri.
Senjata adalah alat beraditif, yang sanggup merangsang, memicu, atau mendongkrak keberanian bahkan kebrutalan. Dengan integritas yang bias dan naluri yang buas, senjata mampu mewujudkan pemegangnya sebagai manusia super beringas sedunia. Pemegangnya yang gelap mata akan membabi buta, dan apa pun diselesaikan dengan senjata. Lebih lagi, senjata telah menjadi candu bagi pecinta kekerasan.
Senjata adalah alat kesenjangan sosial. Superioritas senjata selalu memperlebar jurang pemisah antara manusia dengan sesamanya, dan antara badan dan rohnya. Senjata tidak mengenal kamu siapa dan saya siapa. Sesama sebangsa-setanah air, tidaklah dikenal oleh senjata. Dan, senjata tidak peduli negara. Sebab, superioritas senjata adalah sebuah kepongahan yang paling kronis-sensitif.
Senjata adalah alat penjungkirbalik logika dan perasaan. Rasa solidaritas dalam nilai kemanusiaan-kebangsaan bisa dijungkir-balik oleh senjata. Senjata menjungkalkan setiap imajinasi manusia tentang peradaban yang manusiawi nan luhur. Nilai-nilai kebaikan bisa luntur bahkan lebur dalam benturan peluru yang disemburkan oleh moncong senjata. Saya mencurigai bahwa nilai-nilai kebaikan nan luhur yang selama ini digembar-gemborkan itu tidak lebih dari baluran pupur sehingga mudah luntur.
Senjata adalah segalanya bagi setiap jiwa yang memujanya.Mereka yakin bahwa senjata adalah kekuatan dan kekuasaan paling ampuh. Senjata akan menyantap setiap jiwa yang menentang atau menantangnya. Ketentraman terancam. Suasana mencekam. Siapa berani mengecam?
Lalu, senjata tidak mau menganggur, duduk ongkang-ongkang tanpa ada yang mengendalikan kokang. Maka, ketika tidak ada komando perang melawan negara lain, diperangilah bangsanya sendiri. Ya jelas menang bagi yang legal maupun ilegal bersenjata. Yang tak bersenjata, silakan tiarap di kolong ranjang sembari gemetar sampai terkencing di celana karena kuatir ada peluru nyasar. Jangan coba-coba membuat penentangan dan penantangan. Saya pun kelabakan mencari tempat perlindungan.
Di lain waktu saya heran sendiri. Di kala kekayaan alam menjadi bancakan legislasi-birokrasi rakus dan incaran negara-negara asing; daerah perbatasan dibayang-bayangi perampas; pulau-pulau dijangkau oleh negara lain. Dalam negeri malah terjadi pembantaian. Badai pembantaian. Pembantaian berantai. Siapa yang nekat mengurai, sedang pula diintai oleh senjata. Senjata bergerilya sampai ke dalam bilik-bilik masyarakat.
Senjata suka mengunjuk kehebatan. Sebutir peluru yang melesat merupakan sebuah pembuktian. Peluru memburu siapa-siapa yang hendak menjajalnya. Ada yang mampu membeli senjata, akan memanfaatkannya. Ada yang tidak mampu membeli, mereka akan merakitnya sendiri seperti waktu kanak-kanak membuat senjata mainan. Ada yang selalu nekat menyalahgunakannya, kendati bukan miliknya. Ada yang hanya mengumbar sesumbar, akan menebar kengerian di seluruh penjuru negeri.
Masih lumayan jika terdengar suara orang kentut. Suara dan aromanya memang menjijikkan. Tapi kalau mendengar senjata kentut, jelas bukan lagi suatu kejijikan. Orang-orang bisa kalut, kalang-kabut, dan terpaksa menahan kentut agar tidak dikentuti senjata. Sepucuk senjata yang menyalak lebih berbahaya daripada gonggongan anjing galak.
Lantas, di manakah supremasi hukum? Di manakah undang-undang mengenai kepemilikan dan penggunaan senjata? Adakah senjata di balik undang-undang? Masak sih kini ada pepatah mutakhir “ada peluru di balik undang-undang”? Janganlah sampai begitu.
Di manakah pula keberadaan-kekuasaan negara yang memiliki hukum? Negara yang, katanya, berhukum, tidaklah lebih beradab di hadapan moncong senjata. Hukum sudah lumpuh, dan sedang bersimpuh dengan seluruh keluh-peluh yang melepuh. Senjata telah menjelma sebagai vonis akhir ataupun solusi paling ampuh nan bergengsi, di luar batas kemampuan hukum yang kian kehilangan potensi. Di hadapan senjata, supremasi itu seakan dikremasi!
Pada situasi lain, saya menyaksikan para perampok merajalela dengan senjata. Para penodong petentang-petenteng dengan senjata. Para preman tidak lupa membekali diri dengan senjata. Para pemberontak membentak dengan senjata. Organisasi-organisasi tak mau kalah amunisi. Dar-der-dor! Dar-der-dor! Dar-der-dor! Kepala bocor, nafas kendor, nafsu slebor, dan nyawa terteror.
Sekarang adalah masa kampanye ketakutan. Di hutan, di kampung, di kota, di darat, di laut, di udara, dan di luar angkasa. Senjata telah menyebar sekaligus menebar benih kengerian dalam ingatan sebagian anak-anak bangsa. Senjata pun sedang marak mengampanyekan kekerasan, perpecahan dan pembinasaan. Maka, ketakutan sekaligus kekerasan merembak di mana-mana, khususnya dalam lingkungan masyarakat yang aman-tentram, termasuk dalam ruang renung saya yang paling dalam.
Dan sekarang Negara Kesatuan Republik Indonesia sedang menderita krisis besar-besaran. Krisis identitas, integritas, dan seterusnya. Saya tidak sanggup memahaminya. Situasi ini benar-benar kritis. Darurat. Bukan serbuan pasukan sekutu atau serangan gerombolan teroris-ekstrimis. Beginilah, senjata tengah giat berkampanye dan berpawai untuk menjadi tontonan dunia. Dar-der-dor!
Tragedi berbangsa-bernegara. Tidak perlu lagi saya bertanya soal bela negara. Apalagi melindungi rakyat dari imperialisme asing. Saya sendiri kian terasing di negeri sendiri. Sementara nyawa manusia tidak lebih berharga daripada sebutir peluru. Peredaran peluru pun sudah tidak terdeteksi.
Berita-berita terus memuat daftar aktivitas bar-bar. Orang-orang sibuk mengunjuk diri dengan senjata.Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kemufakatan, dan keadilan sudah tidak lagi penting dan prioritas. Yang terdengar lantang adalah dar-der-dor. Selain itu, sekelompok orang malah sibuk merampok uang rakyat. Orang-orang lainnya sibuk berebut kekuasaan maupun mempertahankan posisi.
Presiden RI di manakah, dan apakah kerjanya sekarang? Saya tidak tahu. Sumpah! Di mana pula Ketua DPR RI dan MPR RI; MA, MK, HA, JA, dan seluruh aparatur hukum? Lagi-lagi, saya sama sekali tidak tahu.Yang saya tahu, dar-der-dor itu. Dar-der-dor bisa bikin siapa saja lupa pakai kolor.
Saya sendiri semakin bingung bahkan linglung memikirkan semua ini. Mau dibawa ke mana negeri ini? Dibawa ke mana peluru berlari, saya tidak mengerti. Ke manakah seluruh tragedi ini akan berhenti? Ke ujung peluru yang runcing, pasti!
Akhirnya, siapa yang harus bertanggung jawab? Mau-tidak mau jawabannya adalah senjata dan peluru karena para pemegangnya pasti mengelak. Ya, senjata dan peluru yang menyeru lantas menderu. Keduanya berkonspirasi dan berprovokasi sehingga patut menjadi tersangka utamanya. Menurut Agus Noor dalam cerpen “Dzikir Sebutir Peluru”, peluru adalah tokoh utamanya. Berarti bukan saya, kamu, dia, atau mereka.
Kata “trenyuh”, “prihatin”, atau “miris” sudah tidak laku dijual di media-media. Saya pun tidak sudi membelinya. Sementara dar-der-dor kian gencar memberondong perhatian masyarakat di segenap pelosok Nusantara. Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, UUD 1945, dan gambar para pahlawan sudah diterjang senjata masa kini yang gelojoh serta masa bodoh.
Maka, jadilah senjata sebagai panglima tertinggi dalam suatu tatanan hidup manusia. Jiwa-jiwa yang rusak selalu mengandalkan senjata untuk tujuan-tujuan dalam ideologi mereka. Ideologi yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadaban, kerukunan, keadilan, dan kebaikan. Begitulah. Hingga senjata membulatkan suaranya.
Dar-der-dor!
Dar-der-dor!
*******
Balikpapan, 28 Maret 2013
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI