Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pemimpin di Tengah Tanpa Takhta: Sebuah Tafsir tentang Kepemimpinan Sejati

14 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 13 Oktober 2025   20:50 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pandangan umum, kepemimpinan kerap disamakan dengan jabatan, gelar, dan kuasa untuk memerintah; kita sering terpesona pada kursi dan seragam, seolah kepemimpinan lahir dari simbol-simbol yang melekat di tubuh, bukan dari nilai yang tumbuh dalam diri. Namun di balik hiruk-pikuk dunia formal itu, berdiam sosok-sosok sederhana yang memimpin tanpa diminta: seorang ayah yang sabar menuntun keluarganya, seorang ibu yang menjadi jangkar di tengah badai, seorang guru tua yang tetap dihormati meski pensiun. Mereka tak memiliki takhta, tetapi tutur dan tindak mereka menumbuhkan arah, sebab pengaruh sejati sering lahir dari kerendahan hati, bukan dari kekuasaan. Maka muncul pertanyaan reflektif: apakah kepemimpinan sejati ditentukan oleh posisi dan pangkat, atau oleh ketulusan yang menyalakan kepercayaan? Apakah kehormatan membutuhkan takhta, atau justru tumbuh dari jiwa yang mau melayani tanpa pamrih? Mungkin, pemimpin sejati bukanlah mereka yang berada di atas, melainkan yang berdiri di tengah: mendengarkan, membimbing, dan menyalakan arah bagi sesama.

Kepemimpinan sebagai Relasi Kepercayaan

Kepemimpinan sejati bukanlah hasil dari mandat kekuasaan, melainkan buah dari kepercayaan yang tumbuh dalam relasi. Seorang pemimpin nonformal tidak dilahirkan melalui penunjukan resmi, tetapi melalui pengakuan batin dari orang-orang yang merasakan kebijaksanaannya. Ia hadir tanpa perlu pengukuhan, karena otoritas moralnya lahir dari kesetiaan pada nilai, bukan pada jabatan. Dalam diri pemimpin seperti ini, kepercayaan menjadi jembatan antara hati dan tanggung jawab, antara kata dan tindakan.

Kita melihat sosok demikian dalam kehidupan sehari-hari: seorang ayah yang tak hanya memberi nafkah, tetapi menanamkan arah hidup; seorang ibu yang menjadi pusat kehangatan dan kebijaksanaan; seorang guru yang diteladani bukan karena statusnya, tetapi karena ketulusan mendidik; dan seorang tokoh masyarakat seperti Bapak Johanes Gluba Gebze, mantan Bupati Merauke dua periode (1999--2009), yang hingga kini tetap dihormati di Papua Selatan. Wibawanya tidak berhenti ketika masa jabatannya usai, sebab kepercayaan rakyat telah berakar dalam ketulusan dan konsistensi pengabdiannya.

Dalam The Republic, Plato (terj. Desmond Lee, 2007) menegaskan bahwa "pemimpin sejati adalah mereka yang memerintah bukan karena haus akan kuasa, melainkan karena kewajiban moral untuk menuntun yang lain menuju kebaikan." Pandangan ini senada dengan pemikiran Robert K. Greenleaf dalam Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness (1977), yang menekankan bahwa pemimpin sejati adalah pelayan terlebih dahulu, seseorang yang menaruh kebutuhan orang lain di atas ambisi pribadinya.

Dalam terang refleksi ini, kepemimpinan sebagai relasi kepercayaan menyingkap kebenaran yang lembut namun tajam: kekuasaan dapat diwariskan, tetapi kepercayaan hanya dapat diperoleh. Ia tidak datang dari struktur, melainkan dari kejujuran yang dirawat dan kesetiaan yang diuji oleh waktu. Di sanalah inti kepemimpinan sejati, bukan tentang siapa yang memerintah, melainkan siapa yang dapat dipercaya untuk tetap berjalan bersama dalam kebaikan.

Karisma sebagai Cahaya Moral

Karisma sering disalahpahami sebagai pesona yang memesona mata, padahal hakikatnya jauh lebih dalam. Ia bukan sekadar daya tarik lahiriah yang menawan atau kemampuan retoris yang menggugah, melainkan kekuatan batin yang memancarkan keyakinan dan kebaikan. Karisma sejati tumbuh dari kedalaman jiwa yang selaras antara kata dan laku, antara niat dan tindakan. Dari sanalah cahaya moral itu lahir, lembut namun menuntun, tidak memaksa namun menggerakkan.

Max Weber, dalam The Theory of Social and Economic Organization (1947), menyebut karisma sebagai bentuk otoritas yang lahir dari "pengakuan luar biasa terhadap kualitas pribadi seseorang." Namun, Weber melihat karisma sebagai fenomena sosial yang sering kali bersifat sementara. Dalam tafsir yang lebih moral dan filosofis, karisma yang bertahan bukanlah karisma yang menonjolkan keistimewaan pribadi, melainkan yang berakar pada ketulusan hati dan pengabdian terhadap sesama.

Sren Kierkegaard, dalam Works of Love (1962), menulis bahwa "cinta yang tulus adalah sumber dari segala pengaruh yang murni." Dalam terang ini, karisma sejati bukanlah hasil strategi untuk disukai, melainkan akibat dari cinta yang memancar tanpa pamrih. Orang yang tulus tidak berusaha tampak bercahaya, ia hanya menjadi dirinya dengan jujur, dan dari kejujuran itulah orang lain menemukan arah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun