Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pilihan Ganda, Nalar Tunggal: Cermin Krisis Berpikir di Sekolah

13 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 13 Oktober 2025   05:04 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pilihan Ganda, Nalar Tunggal (Dokumentasi Pribadi)

Paradoks dalam Pendidikan Kita

Di ruang-ruang kelas Indonesia, deretan soal pilihan ganda masih menjadi wajah paling akrab dari sebuah ujian. Murid-murid menunduk, pensil 2B di tangan, lembar jawaban penuh lingkaran yang siap dihitamkan. Di balik kesunyian itu, seolah ada ketertiban dan keseriusan belajar; padahal sering yang bekerja bukan nalar, melainkan naluri menebak. Pendidikan yang mestinya menjadi ruang berpikir justru berubah menjadi arena mencari huruf paling aman: A, B, C, atau D.

Jauh sebelum kita menyalin sistem ini, di Amerika tahun 1960-an, ujian multiple choice bukan sekadar permainan pilihan. Siswa diminta tidak hanya menentukan jawaban, tetapi juga menuliskan alasan mengapa ia memilihnya. Di sana, sebuah kesalahan bisa dimaklumi jika disertai argumen yang masuk akal. Artinya, yang diuji bukan hanya pengetahuan, tetapi juga daya nalar dan kejujuran berpikir.

Namun di negeri ini, bagian "mengapa" itu telah dihapus entah sejak kapan. Kita hanya menilai hasil, bukan proses berpikir. Sejak saat itu, ujian kehilangan makna dialogisnya. Ia berhenti menjadi sarana menumbuhkan logika dan berubah menjadi alat penghafalan massal. Paradoksnya, kita ingin mencetak manusia yang cerdas, tetapi sistem kita justru menumpulkan akal sehat.

Ketika pendidikan hanya menghargai jawaban yang benar tanpa memahami cara berpikir di baliknya, kita sedang kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting daripada nilai: roh intelektual. Sebab pengetahuan tanpa nalar hanyalah hafalan yang mudah pudar, sedangkan berpikir dengan alasan adalah bentuk tertinggi dari belajar itu sendiri.

Krisis Nalar di Balik Efisiensi

Sistem pilihan ganda dipertahankan karena dianggap praktis. Ia efisien, mudah diperiksa oleh mesin, dan memberikan kesan objektif. Dalam ruang-ruang kelas yang padat murid dan waktu yang terbatas, guru merasa terbantu: satu ujian bisa selesai dikoreksi dalam hitungan menit. Seragamnya bentuk soal seolah menjanjikan keadilan dalam penilaian. Namun, di balik kemudahan itu, sesuatu yang lebih bernilai perlahan terkikis, ruang bagi nalar untuk bernapas.

Kita jarang menyadari bahwa efisiensi yang berlebihan sering mengorbankan makna. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) mengingatkan bahwa pendidikan yang hanya memindahkan pengetahuan dari guru ke murid tanpa memberi ruang berpikir kritis adalah bentuk penindasan yang halus. Dalam konteks ujian pilihan ganda, siswa hanya diminta menyimpan informasi, bukan mengolahnya. Mereka hafal, tapi tak selalu paham.

Akibatnya, kebiasaan bernalar digantikan oleh seni menebak. Ketika hanya ada satu jawaban benar yang dinilai, siswa belajar bermain aman, bukan berpikir jujur. Fenomena menyontek pun menjadi konsekuensi logis: jika yang penting hanya hasil akhir, maka cara menuju ke sana tak lagi diperhitungkan. Di sinilah pendidikan kehilangan integritasnya, bukan karena anak malas berpikir, tetapi karena sistem tak memberinya kesempatan untuk berpikir.

Nalar yang semestinya tumbuh dari keraguan, dari pertanyaan "mengapa," kini layu di bawah tekanan efisiensi. Kita lupa bahwa belajar bukan soal cepat selesai, tetapi soal mengasah kesadaran. Dalam setiap pilihan jawaban yang tidak disertai alasan, kita sesungguhnya sedang menanamkan pesan diam-diam kepada generasi muda: berpikirlah sesingkat mungkin, asal benar di atas kertas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun