Paradoks dalam Pendidikan Kita
Di ruang-ruang kelas Indonesia, deretan soal pilihan ganda masih menjadi wajah paling akrab dari sebuah ujian. Murid-murid menunduk, pensil 2B di tangan, lembar jawaban penuh lingkaran yang siap dihitamkan. Di balik kesunyian itu, seolah ada ketertiban dan keseriusan belajar; padahal sering yang bekerja bukan nalar, melainkan naluri menebak. Pendidikan yang mestinya menjadi ruang berpikir justru berubah menjadi arena mencari huruf paling aman: A, B, C, atau D.
Jauh sebelum kita menyalin sistem ini, di Amerika tahun 1960-an, ujian multiple choice bukan sekadar permainan pilihan. Siswa diminta tidak hanya menentukan jawaban, tetapi juga menuliskan alasan mengapa ia memilihnya. Di sana, sebuah kesalahan bisa dimaklumi jika disertai argumen yang masuk akal. Artinya, yang diuji bukan hanya pengetahuan, tetapi juga daya nalar dan kejujuran berpikir.
Namun di negeri ini, bagian "mengapa" itu telah dihapus entah sejak kapan. Kita hanya menilai hasil, bukan proses berpikir. Sejak saat itu, ujian kehilangan makna dialogisnya. Ia berhenti menjadi sarana menumbuhkan logika dan berubah menjadi alat penghafalan massal. Paradoksnya, kita ingin mencetak manusia yang cerdas, tetapi sistem kita justru menumpulkan akal sehat.
Ketika pendidikan hanya menghargai jawaban yang benar tanpa memahami cara berpikir di baliknya, kita sedang kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting daripada nilai: roh intelektual. Sebab pengetahuan tanpa nalar hanyalah hafalan yang mudah pudar, sedangkan berpikir dengan alasan adalah bentuk tertinggi dari belajar itu sendiri.
Krisis Nalar di Balik Efisiensi
Sistem pilihan ganda dipertahankan karena dianggap praktis. Ia efisien, mudah diperiksa oleh mesin, dan memberikan kesan objektif. Dalam ruang-ruang kelas yang padat murid dan waktu yang terbatas, guru merasa terbantu: satu ujian bisa selesai dikoreksi dalam hitungan menit. Seragamnya bentuk soal seolah menjanjikan keadilan dalam penilaian. Namun, di balik kemudahan itu, sesuatu yang lebih bernilai perlahan terkikis, ruang bagi nalar untuk bernapas.
Kita jarang menyadari bahwa efisiensi yang berlebihan sering mengorbankan makna. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) mengingatkan bahwa pendidikan yang hanya memindahkan pengetahuan dari guru ke murid tanpa memberi ruang berpikir kritis adalah bentuk penindasan yang halus. Dalam konteks ujian pilihan ganda, siswa hanya diminta menyimpan informasi, bukan mengolahnya. Mereka hafal, tapi tak selalu paham.
Akibatnya, kebiasaan bernalar digantikan oleh seni menebak. Ketika hanya ada satu jawaban benar yang dinilai, siswa belajar bermain aman, bukan berpikir jujur. Fenomena menyontek pun menjadi konsekuensi logis: jika yang penting hanya hasil akhir, maka cara menuju ke sana tak lagi diperhitungkan. Di sinilah pendidikan kehilangan integritasnya, bukan karena anak malas berpikir, tetapi karena sistem tak memberinya kesempatan untuk berpikir.
Nalar yang semestinya tumbuh dari keraguan, dari pertanyaan "mengapa," kini layu di bawah tekanan efisiensi. Kita lupa bahwa belajar bukan soal cepat selesai, tetapi soal mengasah kesadaran. Dalam setiap pilihan jawaban yang tidak disertai alasan, kita sesungguhnya sedang menanamkan pesan diam-diam kepada generasi muda: berpikirlah sesingkat mungkin, asal benar di atas kertas.
Belajar dari Model Amerika: Ketika Alasan Lebih Penting daripada Jawaban
Di Amerika Serikat pada dekade 1960-an, sistem multiple choice bukanlah ujian yang membungkam nalar. Setelah memilih jawaban, siswa diminta menuliskan alasan logis di balik pilihannya. Jawaban benar hanyalah satu sisi dari penilaian; sisi lainnya adalah argumentasi, yaitu cermin bagaimana seseorang berpikir. Di sini, proses menjadi sama pentingnya dengan hasil. Kesalahan pun tidak serta-merta bernilai nol, sebab logika yang runtut, meski mengarah pada jawaban keliru, tetap dianggap sebagai tanda kecerdasan yang hidup.
Pendekatan seperti ini menumbuhkan kebiasaan bertanggung jawab terhadap pilihan. Ia mengajarkan bahwa berpikir bukan sekadar menemukan kunci jawaban, melainkan memahami pintu yang dibuka oleh jawaban itu. John Dewey, dalam How We Think (1910), menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah latihan berpikir reflektif, yaitu proses yang menuntut alasan bagi setiap kesimpulan. Dengan demikian, setiap siswa dilatih untuk berani menjawab dan, lebih penting lagi, berani mempertanggungjawabkan pikirannya.
Nilai tambah dari sistem seperti ini bukan hanya pada hasil akademis, tetapi pada pembentukan karakter intelektual. Ketika alasan menjadi bagian dari penilaian, siswa belajar bahwa kesalahan pun dapat bermartabat selama lahir dari proses berpikir jujur. Di sinilah pendidikan menemukan kembali kemanusiaannya: menghargai usaha mencari, bukan hanya menemukan. Sebab di antara ruang antara benar dan salah, terdapat kehidupan nalar yang sesungguhnya.
Membangun Ujian yang Bernalar
Sudah saatnya kita meninjau kembali cara menilai kecerdasan manusia. Pendidikan tidak boleh berhenti pada outcome-based evaluation (sekadar mengukur hasil akhir), melainkan harus beranjak menuju reasoning-based evaluation, yang menilai bagaimana seseorang sampai pada jawabannya. Proses berpikir itulah yang menyingkap kematangan intelektual dan kejujuran batin seseorang. Seperti ditegaskan oleh Benjamin Bloom, dalam Taxonomy of Educational Objectives (1956), pemahaman sejati muncul ketika siswa mampu menganalisis, menilai, dan menyintesis informasi, bukan hanya mengingatnya.
Langkah sederhana bisa dimulai dari hal kecil: menambahkan kolom "alasan" di bawah setiap soal pilihan ganda. Di ruang itu, siswa menulis mengapa ia memilih satu jawaban dan menolak yang lain. Mungkin tampak sepele, tetapi di sanalah otak mulai berpikir dan hati belajar jujur. Guru pun tidak lagi hanya menjadi pemeriksa kertas, melainkan penafsir cara berpikir. Penilaiannya bukan sekadar benar atau salah, melainkan kuat atau lemah logikanya, jernih atau kabur alasannya.
Peran guru menjadi kunci. Ia adalah penggerak nalar, bukan penjaga kebenaran tunggal. Ketika guru menghargai argumen yang tulus dan berpikir yang orisinal, ia sedang menanamkan nilai tanggung jawab intelektual, bahwa setiap pilihan harus lahir dari kesadaran, bukan dari tebakan.
Dalam jangka panjang, sistem seperti ini akan melahirkan generasi yang lebih reflektif, berani berpikir, dan jujur terhadap dirinya sendiri. Mereka tak lagi takut salah, karena tahu bahwa berpikir adalah perjalanan, bukan perlombaan. Dan di situlah pendidikan menemukan maknanya kembali: bukan mencetak penghafal, melainkan menumbuhkan manusia yang berpikir dengan hati dan nalar yang utuh.
Mengembalikan Jiwa Pendidikan
Pendidikan sejati tidak pernah dimaksudkan untuk melahirkan mesin penjawab soal. Ia adalah perjalanan panjang membentuk manusia yang berpikir, yang mampu menimbang, meragukan, lalu menemukan makna dari setiap pengetahuan yang diterimanya. Di ruang kelas, seharusnya kita tidak sekadar melatih tangan yang cepat menandai pilihan, tetapi jiwa yang berani mempertanyakan: mengapa ini benar, dan mengapa yang lain tidak?
Sudah waktunya ujian kembali menjadi taman nalar, bukan ladang ketakutan. Tempat di mana siswa boleh salah, asalkan jujur berpikir. Tempat di mana alasan lebih dihargai daripada tebakan. Guru dan murid seharusnya berdiri sejajar dalam keingintahuan, bukan terpisah oleh lembar jawaban yang kaku.
Sebab pendidikan tanpa ruang bernalar hanyalah pelatihan hafalan yang sunyi dari kesadaran. Dan pada akhirnya, kita perlu mengingat satu hal yang sederhana namun mendasar: bernalar adalah tanda kita manusia. Jika pendidikan menghapusnya, maka sekolah hanya mencetak ingatan, bukan pemikiran. (*)
Merauke, 13 Oktober 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI