Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Meniru Tanpa Nalar: Ketika Kebiasaan Mengalahkan Logika Bahasa

9 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 9 Oktober 2025   04:23 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meniru Tanpa Nalar (Dokumentasi Pribadi)

Dalam berbagai acara resmi, di balik mikrofon dan senyum seremonial, sering terdengar kalimat-kalimat yang tampak rapi namun kehilangan logika maknanya. Kata-kata meluncur begitu saja: "waktu dan tempat kami persilakan," "untuk mempersingkat waktu," "yang membawa HP harap dimatikan", seolah telah menjadi mantra dalam ruang publik yang tidak pernah dipertanyakan. Di situ, bahasa seakan berhenti berpikir; ia hanya mengulang apa yang telah diucapkan ribuan kali sebelumnya. Fenomena ini bukan sekadar kesalahan kecil dalam tata bahasa, melainkan cermin dari kebiasaan meniru tanpa nalar: suatu bentuk kepatuhan pada pola yang lazim tanpa keberanian untuk bertanya: apakah ini benar secara makna? Dalam kebiasaan yang terus diwariskan itu, logika perlahan tergeser oleh rutinitas, dan keindahan bahasa kehilangan akal sehatnya. Ketika meniru menjadi lebih penting daripada memahami, bahasa pun kehilangan daya hidupnya: ia tidak lagi menjadi sarana berpikir jernih, melainkan gema kosong dari kebiasaan yang tak pernah direfleksikan.

Kebiasaan yang Terlanjur Lazim

Dalam gema mikrofon dan gema aula resmi, kita sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti "Untuk mempersingkat waktu..." atau "Yang membawa HP harap dimatikan." Kata-kata ini sudah sedemikian akrab, hingga sering tanpa kesadaran kita bahwa struktur dan maknanya menyiratkan kekeliruan logis, yang dipersingkat bukan waktu, yang harus dimatikan bukan orang yang membawa HP.

Kekeliruan semacam ini diwariskan dari satu acara ke acara berikutnya, dari satu pembawa acara ke pembawa acara berikutnya. Ia dianggap "resmi," "layak," atau paling tidak, "umum digunakan," maka tak diragukan keberadaannya. Karena dianggap bagian dari tradisi tutur formal, banyak orang enggan memperbaikinya; dan bahkan jika ada yang sadar, rasa "itu biasa saja" sering menenggelamkan keinginan untuk menantangnya.

Konteks sosial dan budaya tutur menguatkan kesalahan itu: dalam acara-acara resmi, terasa bahwa segala sesuatu harus "terdengar formal": ujaran harus sopan, berstruktur, dan terlepas dari rasa sehari-hari. Di samping itu, struktur hierarkis memberi kepercayaan bahwa yang resmi adalah yang benar, bahwa pola yang sering muncul dari penyelenggara, pejabat, atau pembawa acara adalah "acuan." Keinginan tampil formal kadang melebihi keinginan tampil jernih. Kebiasaan demikian, berpaut pada kepercayaan bahwa "itu sudah benar karena sudah biasa," membuat bahasa kehilangan kejernihannya, terkadang juga keadilan maknanya.

Ketika Bahasa Kehilangan Logika

Di permukaan, kesalahan logika dalam ujaran seremonial memberi kita senyum, sebuah kelucuan kecil saat "yang membawa HP harap dimatikan" melahirkan bayang-bayang orang yang hendak dipadamkan. Namun senyum itu tipis; di baliknya terdapat kaburnya makna yang seharusnya menuntun tindakan dan pemahaman. Ketika unsur-unsur kalimat saling tidak cocok, pesan menjadi samar: pendengar bingung apakah yang dimaksud orang, benda, atau suasana. Analisis semacam ini masuk ke ranah pragmatik, bagaimana ujaran digunakan dan dipahami, yang sejak lama ditelaah oleh para ahli tata tutur dan ucapan performatif (bdk. George Yule, Pragmatics, 1996).

Dalam jangka panjang, kebiasaan berbahasa yang membiarkan ketidaklogisan terus berulang meredupkan napas kritis dalam komunitas berbicara. Ketika frasa-frasa keliru dianggap "resmi" lalu diwariskan, masyarakat belajar menerima bentuk yang tampak rapi namun tak teruji maknanya. Akibatnya bukan hanya soal pilihan kata: ini melemahkan kebiasaan menelaah, mengajukan pertanyaan, dan menuntut kejernihan: keterampilan penting dalam berpikir kritis. Prinsip-prinsip dasar berpikir kritis menuntut kejelasan tujuan dan premis; bahasa yang kabur merusak kedua hal itu.

Hubungan antara bahasa yang tidak logis dan ketidakjelasan berpikir bukan sekadar teori dingin, ia hidup dalam praktik tutur kita. Para pemikir linguistik lama dan kontemporer (seperti Benjamin Lee Whorf, 1956) menunjukkan bahwa struktur bahasa memengaruhi tata cara kita memilah pengalaman dan menyusun argumen; bahasa yang tak tertib memudarkan kerangka berpikir yang rapi. Maka, memperbaiki ujaran-acara bukan sekadar soal estetika kalimat, melainkan tindakan memulihkan tata nalar kolektif, mengembalikan bahasa menjadi cermin yang jernih bagi pikiran.

Perlu Nalar dalam Berbahasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun