Dalam berbagai acara resmi, di balik mikrofon dan senyum seremonial, sering terdengar kalimat-kalimat yang tampak rapi namun kehilangan logika maknanya. Kata-kata meluncur begitu saja: "waktu dan tempat kami persilakan," "untuk mempersingkat waktu," "yang membawa HP harap dimatikan", seolah telah menjadi mantra dalam ruang publik yang tidak pernah dipertanyakan. Di situ, bahasa seakan berhenti berpikir; ia hanya mengulang apa yang telah diucapkan ribuan kali sebelumnya. Fenomena ini bukan sekadar kesalahan kecil dalam tata bahasa, melainkan cermin dari kebiasaan meniru tanpa nalar: suatu bentuk kepatuhan pada pola yang lazim tanpa keberanian untuk bertanya: apakah ini benar secara makna? Dalam kebiasaan yang terus diwariskan itu, logika perlahan tergeser oleh rutinitas, dan keindahan bahasa kehilangan akal sehatnya. Ketika meniru menjadi lebih penting daripada memahami, bahasa pun kehilangan daya hidupnya: ia tidak lagi menjadi sarana berpikir jernih, melainkan gema kosong dari kebiasaan yang tak pernah direfleksikan.
Kebiasaan yang Terlanjur Lazim
Dalam gema mikrofon dan gema aula resmi, kita sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti "Untuk mempersingkat waktu..." atau "Yang membawa HP harap dimatikan." Kata-kata ini sudah sedemikian akrab, hingga sering tanpa kesadaran kita bahwa struktur dan maknanya menyiratkan kekeliruan logis, yang dipersingkat bukan waktu, yang harus dimatikan bukan orang yang membawa HP.
Kekeliruan semacam ini diwariskan dari satu acara ke acara berikutnya, dari satu pembawa acara ke pembawa acara berikutnya. Ia dianggap "resmi," "layak," atau paling tidak, "umum digunakan," maka tak diragukan keberadaannya. Karena dianggap bagian dari tradisi tutur formal, banyak orang enggan memperbaikinya; dan bahkan jika ada yang sadar, rasa "itu biasa saja" sering menenggelamkan keinginan untuk menantangnya.
Konteks sosial dan budaya tutur menguatkan kesalahan itu: dalam acara-acara resmi, terasa bahwa segala sesuatu harus "terdengar formal": ujaran harus sopan, berstruktur, dan terlepas dari rasa sehari-hari. Di samping itu, struktur hierarkis memberi kepercayaan bahwa yang resmi adalah yang benar, bahwa pola yang sering muncul dari penyelenggara, pejabat, atau pembawa acara adalah "acuan." Keinginan tampil formal kadang melebihi keinginan tampil jernih. Kebiasaan demikian, berpaut pada kepercayaan bahwa "itu sudah benar karena sudah biasa," membuat bahasa kehilangan kejernihannya, terkadang juga keadilan maknanya.
Ketika Bahasa Kehilangan Logika
Di permukaan, kesalahan logika dalam ujaran seremonial memberi kita senyum, sebuah kelucuan kecil saat "yang membawa HP harap dimatikan" melahirkan bayang-bayang orang yang hendak dipadamkan. Namun senyum itu tipis; di baliknya terdapat kaburnya makna yang seharusnya menuntun tindakan dan pemahaman. Ketika unsur-unsur kalimat saling tidak cocok, pesan menjadi samar: pendengar bingung apakah yang dimaksud orang, benda, atau suasana. Analisis semacam ini masuk ke ranah pragmatik, bagaimana ujaran digunakan dan dipahami, yang sejak lama ditelaah oleh para ahli tata tutur dan ucapan performatif (bdk. George Yule, Pragmatics, 1996).
Dalam jangka panjang, kebiasaan berbahasa yang membiarkan ketidaklogisan terus berulang meredupkan napas kritis dalam komunitas berbicara. Ketika frasa-frasa keliru dianggap "resmi" lalu diwariskan, masyarakat belajar menerima bentuk yang tampak rapi namun tak teruji maknanya. Akibatnya bukan hanya soal pilihan kata: ini melemahkan kebiasaan menelaah, mengajukan pertanyaan, dan menuntut kejernihan: keterampilan penting dalam berpikir kritis. Prinsip-prinsip dasar berpikir kritis menuntut kejelasan tujuan dan premis; bahasa yang kabur merusak kedua hal itu.
Hubungan antara bahasa yang tidak logis dan ketidakjelasan berpikir bukan sekadar teori dingin, ia hidup dalam praktik tutur kita. Para pemikir linguistik lama dan kontemporer (seperti Benjamin Lee Whorf, 1956) menunjukkan bahwa struktur bahasa memengaruhi tata cara kita memilah pengalaman dan menyusun argumen; bahasa yang tak tertib memudarkan kerangka berpikir yang rapi. Maka, memperbaiki ujaran-acara bukan sekadar soal estetika kalimat, melainkan tindakan memulihkan tata nalar kolektif, mengembalikan bahasa menjadi cermin yang jernih bagi pikiran.
Perlu Nalar dalam Berbahasa
Bahasa yang hidup bukanlah sekadar kumpulan bunyi atau rangkaian kata yang terdengar indah di telinga; ia adalah cermin dari nalar yang terjaga. Setiap kata yang dipilih dengan sadar adalah bukti bahwa manusia masih berpikir sebelum berbicara. Dalam konteks inilah, menghidupkan kesadaran berbahasa menjadi keharusan, sebuah upaya untuk menata kembali hubungan antara makna dan logika. Seperti ditegaskan oleh Gorys Keraf (Diksi dan Gaya Bahasa, 2009), ketepatan dalam memilih kata tidak hanya menentukan kejelasan pesan, tetapi juga menunjukkan ketelitian berpikir penuturnya. Maka, berbicara dengan logis berarti menghormati makna; menulis dengan cermat berarti menjaga martabat bahasa.
Guru, pembawa acara, dan media publik memegang peran yang tidak kecil dalam menumbuhkan nalar berbahasa di tengah masyarakat. Mereka adalah penjaga gawang bahasa yang menentukan arah rasa dan nalar publik. Ketika seorang guru mengajarkan anak didiknya untuk tidak sekadar berbicara, tetapi memahami sebelum mengucap, maka ia sedang menanam benih berpikir kritis. Ketika pembawa acara memperbaiki tuturnya agar tepat dan wajar, ia sedang memulihkan kesadaran publik tentang keindahan logika dalam bahasa. Dan ketika media menggunakan kalimat yang jernih, seimbang, dan bertanggung jawab, ia sedang membangun kepercayaan publik bahwa bahasa yang logis adalah bahasa yang bermoral.
Bahasa yang logis, sebagaimana diingatkan oleh Richard Paul & Linda Elder (The Miniature Guide to Critical Thinking: Concepts & Tools, 2019), mencerminkan pola pikir yang tertib dan bertanggung jawab. Nalar adalah napas dari bahasa; tanpanya, kata menjadi kosong dan makna kehilangan arah. Maka, marilah kita menata kembali cara kita bertutur, dengan pikiran yang jernih, hati yang terbuka, dan kesadaran bahwa setiap kalimat yang kita ucapkan adalah cerminan dari bagaimana kita berpikir tentang dunia dan manusia di dalamnya.
Akhirnya, bahasa bukan sekadar alat untuk menyampaikan maksud; ia adalah cermin dari cara kita menata dunia di dalam pikiran. Di setiap kata yang kita pilih, tersimpan jejak nalar dan ketulusan berpikir. Ketika logika tergelincir, makna pun kehilangan pijakannya, dan di situlah bahasa mulai kehilangan jiwanya. Meniru tanpa nalar ibarat membiarkan pelita padam perlahan: terang makna meredup, sementara kebiasaan yang keliru terus diwariskan tanpa tanya. Sudah saatnya kita kembali mendengarkan bahasa dengan hati dan pikiran yang jernih, menjadikan ketepatan berbahasa sebagai bentuk tanggung jawab intelektual dan moral, bukan sekadar kebiasaan formal. Sebab berbahasa dengan benar bukan hanya urusan tata kalimat, melainkan wujud dari kecerdasan budaya, sebuah kesadaran bahwa logika, rasa, dan tutur yang selaras akan melahirkan masyarakat yang lebih arif dalam berpikir dan lebih santun dalam berbicara. (*)
Merauke, 09 Oktober 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI