Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kokok yang Membuaikan: Pelajaran bagi Pemimpin yang Terlalu Percaya Diri

25 September 2025   04:25 Diperbarui: 25 September 2025   04:29 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kokok yang Membuaikan (Dokumentasi Pribadi)

Di tengah hingar-bingar kokok yang membisingkan, kerendahan hati adalah napas yang menenangkan. Pemimpin yang benar-benar bijaksana tahu, dirinya hanyalah sehelai daun dalam rimba besar sejarah, bukan pohon yang menyangga semesta. Ia hadir bukan untuk menuntut pujian, melainkan menjadi bagian dari arus besar yang mengalirkan kehidupan bagi bangsanya.

Kontras dengan arogansi:  Arogansi membuat pemimpin merasa pusat dunia, sementara kerendahan hati mengingatkan bahwa kekuasaan hanyalah amanah yang fana. James C. Hunter dalam The Servant: A Simple Story About the True Essence of Leadership (1998) menegaskan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari kerendahan hati untuk melayani, bukan dari ego yang ingin dikuasai. Maka, pemimpin yang rendah hati tidak sibuk membesarkan dirinya, melainkan sadar bahwa ia hanyalah satu simpul dari jejaring luas yang bernama bangsa.

Nilai kerendahan hati: Kerendahan hati terwujud dalam kesediaan untuk mendengarkan suara rakyat, melayani dengan tulus, dan tidak haus akan pujian. Robert K. Greenleaf, pelopor gagasan servant leadership, dalam bukunya Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness (1977) menyatakan bahwa pemimpin yang rendah hati mengutamakan kebutuhan orang lain di atas ambisinya sendiri. Nilai ini membuat kepemimpinan bukan sekadar jabatan, tetapi ruang pengabdian yang menumbuhkan harapan.

Sejarah dan teladan bangsa: Sejarah bangsa kita menorehkan jejak pemimpin yang menjadikan kerendahan hati sebagai mahkota. Bung Hatta hidup dalam kesederhanaan sampai akhir hayatnya, berjalan tanpa harta berlimpah meski pernah menjabat wakil presiden. Gus Dur, dengan segala keunikan dan keterbukaannya, rela dikritik bahkan ditertawakan, namun tetap membuka ruang dialog bagi siapa pun. Nelson Mandela di Afrika Selatan memilih memaafkan musuhnya demi rekonsiliasi nasional.

Di ujung timur negeri ini, kita pun memiliki teladan yang tak kalah bermakna: Johanes Gluba Gebze, dua periode menjabat Bupati Merauke, yang hingga kini tetap menampilkan kesederhanaan. Rumah yang ditinggalinya boleh dikata tidak layak untuk ukuran seorang mantan pejabat tinggi. Namun justru di situlah terang pengabdiannya menyala, bahwa ia lebih memilih menanggung kekurangan pribadi demi melayani rakyatnya tanpa pamrih. Ia adalah bukti hidup bahwa kerendahan hati bukanlah sekadar kata-kata indah, melainkan jalan pengorbanan yang meninggalkan jejak moral.

Pelajaran dari Fabel

Fabel ayam jantan memberi kita kaca bening untuk bercermin. Ia mengira kokoknya yang memanggil matahari, padahal fajar tetap menyingsing tanpa suaranya. Begitu pula bangsa: perjalanan sejarah tidak bergantung pada satu figur arogan. Roda kehidupan tetap berputar, karena ada jutaan tangan rakyat yang setia bekerja dalam diam.

Matahari tetap terbit tanpa kokok ayam: Bangsa ini berdiri bukan karena satu orang berkuasa, melainkan karena denyut kolektif rakyatnya. Seperti diingatkan Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1983), bangsa adalah komunitas yang dibayangkan bersama, bukan ciptaan tunggal seorang pemimpin. Kokok boleh menghilang, namun cahaya pagi tetap menyapa.

Pemimpin sombong dipermalukan oleh realitas: Kesombongan kekuasaan sering memudar di hadapan waktu. Sejarah mencatat, penguasa arogan biasanya runtuh bukan karena lawan yang tangguh, melainkan karena dirinya sendiri yang buta realitas. Lord Acton pernah menulis dalam Essays on Freedom and Power (1948): "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak." Pemimpin yang menyangka dirinya pusat semesta, pada akhirnya dipaksa belajar dari kenyataan pahit, bahwa ia hanyalah bagian kecil dari arus besar sejarah.

Kekuatan sejati ada pada kolaborasi: Fabel juga menyingkap rahasia lain: matahari terbit bukan karena satu kokok, melainkan karena semesta bergerak bersama. Pemimpin yang rendah hati sadar, kekuatan sejatinya lahir dari kolaborasi. Robert Putnam dalam Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (2000) menekankan bahwa jejaring sosial, kerja sama, dan solidaritaslah yang menjaga masyarakat tetap utuh. Seorang pemimpin yang mengklaim semua keberhasilan untuk dirinya hanya menipu diri; sementara pemimpin yang merangkul banyak tangan, itulah yang menyalakan cahaya bangsa.

Fabel ayam jantan akhirnya mengajarkan, bahwa matahari tak butuh panggilan, hanya butuh ruang untuk terbit. Begitu juga bangsa: ia membutuhkan pemimpin yang memberi ruang bagi rakyat untuk tumbuh, bukan pemimpin yang sibuk mengira kokoknya adalah pusat terang kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun