Fenomena "orang pintar" masih hidup subur di tengah masyarakat kita. Mereka tampil sebagai sosok yang dipercaya mampu membuka jalan keluar dari berbagai kesulitan: sakit yang tak kunjung sembuh, rezeki yang seret, hingga masa depan politik yang penuh ketidakpastian. Janji-janji kesembuhan, kekayaan, dan kemenangan selalu terdengar meyakinkan, seolah ada jalan pintas menuju keberhasilan tanpa perlu melewati proses panjang yang wajar. Namun, di balik cerita-cerita yang mereka bangun, tersembunyi jejak penipuan, pemerasan, bahkan manipulasi iman. Banyak orang telah menjadi korban, kehilangan harta, kehilangan arah, bahkan kehilangan keyakinan. Pertanyaannya: mengapa masih begitu banyak yang percaya, padahal kerugian nyata sudah sering terjadi? Apakah ini sekadar persoalan misteri, atau cermin dari kerentanan manusia yang haus akan harapan instan?
Eksploitasi Kerapuhan Manusia
Setiap manusia pernah berada di titik rapuh: sakit yang melemahkan tubuh, kesulitan ekonomi yang membuat harapan meredup, atau kecemasan akan masa depan yang penuh tanda tanya. Dalam situasi demikian, pikiran sering mencari jalan pintas, dan hati mudah ditawan oleh janji-janji yang terdengar meyakinkan. "Orang pintar" hadir di ruang rapuh ini, menawarkan solusi instan yang seakan memberi cahaya di tengah gelap.
Namun, apa yang tampak sebagai cahaya sering hanyalah fatamorgana. Geertz dalam The Religion of Java (1960) menunjukkan bagaimana praktik-praktik spiritual semacam ini bertahan karena ia menjawab kebutuhan emosional masyarakat, bukan karena kebenaran objektif dari janji-janji yang ditawarkan. Di sinilah letak persoalannya: manusia mencari penghiburan, tetapi yang diperoleh bisa saja hanya janji kosong yang meredakan sesaat, tanpa menyelesaikan akar masalah.
Refleksinya: penghiburan sejati tidak pernah lahir dari manipulasi, melainkan dari kehadiran yang tulus, doa yang jernih, dan ikhtiar yang nyata. Janji kosong boleh jadi mampu menenangkan sementara, tetapi akhirnya hanya menambah luka. Karena itu, membedakan antara harapan sejati dan rayuan palsu adalah langkah penting agar kerapuhan manusia tidak berubah menjadi ladang eksploitasi.
Antara Iman dan Bahaya Spiritual
Dalam tradisi iman, khususnya agama-agama Abrahamik, praktik perdukunan, sihir, dan pencarian petunjuk di luar Tuhan secara tegas ditolak. Kitab Ulangan 18:10-12 menegaskan bahwa segala bentuk pemanggilan roh, peramal, atau tukang tenung adalah kekejian di hadapan Tuhan. Peringatan ini lahir dari kesadaran bahwa manusia cenderung mencari kepastian instan, padahal iman sejati selalu mengundang kesabaran, ketekunan, dan penyerahan diri yang utuh.
Bahaya spiritual muncul ketika seseorang membuka diri pada sumber kekuatan yang tidak jelas. "Orang pintar" sering mengklaim diri sebagai saluran ilahi, padahal bisa saja yang bekerja adalah tipu daya manusia, atau bahkan kekuatan yang menjerumuskan. Josef Pieper dalam Abuse of Language, Abuse of Power (1992) menekankan bahwa manipulasi melalui bahasa yang penuh janji kosong dapat menyesatkan hati dan membutakan akal sehat. Demikian pula dalam konteks spiritual, bahasa "kesembuhan" atau "kemenangan" bisa menjadi pintu masuk bagi kuasa gelap yang menyamar sebagai terang.
Refleksi pentingnya: iman sejati tidak mencari jalan pintas. Ia bertumbuh dalam doa yang konsisten, dalam keberanian memikul salib kehidupan, dan dalam kesetiaan kepada komunitas iman. Jika manusia tergoda mencari kekuatan instan di luar Tuhan, sesungguhnya ia sedang menukar iman dengan ilusi. Iman yang sejati tidak menjanjikan jalan tanpa penderitaan, tetapi pendampingan yang setia, bahkan di tengah gelapnya penderitaan.
Janji dan Penipuan