Sejak 25 Agustus 2025, jalan-jalan di berbagai kota dipenuhi suara massa yang resah. Dari teriakan mahasiswa hingga deru kendaraan ojek daring, gelombang unjuk rasa merebak sebagai tanda bahwa ada luka sosial yang tak lagi bisa ditutup. Pemicunya jelas: tunjangan fantastis bagi anggota DPR yang mencapai puluhan juta rupiah per bulan, kontras dengan rakyat kecil yang berjuang menahan beban hidup, dari kenaikan harga pangan hingga pajak yang mencekik. Situasi kian keruh ketika sejumlah elit politik melontarkan pernyataan yang dianggap arogan, seolah menyepelekan jeritan rakyat. Dari sinilah esai ini lahir, bukan untuk menambah bara kemarahan, melainkan menenun refleksi kritis dan mencari jalan win-win, di mana martabat rakyat tetap terjaga dan kewibawaan wakil rakyat pun tidak tercoreng.
Realitas Kesenjangan
Di atas kertas, angka tunjangan anggota DPR tampak dingin dan netral: Rp100 hingga Rp230 juta per bulan, sebagaimana terungkap dalam laporan BBC Indonesia dan kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Namun di mata rakyat, angka itu bukan sekadar statistik, ia menjelma menjadi jurang. Di satu sisi, wakil rakyat menikmati fasilitas melimpah; di sisi lain, para buruh dan pekerja hanya berpegang pada Upah Minimum Provinsi yang jauh di bawah kebutuhan riil hidup. Kenaikan harga pangan dan pendidikan, pemutusan hubungan kerja massal, serta pajak properti yang semakin berat, mempertegas rasa timpang yang mereka alami.
Jurgen Habermas dalam Legitimation Crisis (1975) mengingatkan bahwa legitimasi politik akan rapuh bila negara gagal menjawab penderitaan warganya. Dalam konteks Indonesia kini, tunjangan DPR yang begitu besar dipersepsi sebagai simbol ketidakadilan sosial, sebuah tanda bahwa elit politik lebih sibuk melindungi kenyamanan diri daripada mendengarkan denyut nadi rakyat. Ketika simbol-simbol kemewahan bertabrakan dengan kenyataan getir rakyat jelata, luka sosial pun terbuka lebar. Jalan keluarnya bukan sekadar memangkas angka, melainkan mengembalikan makna: bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan privilese. Dengan begitu, keadilan bisa kembali ditenun, bukan hanya di atas anggaran, melainkan juga di hati masyarakat.
Eskalasi dan Luka Sosial
Titik balik yang mengubah protes menjadi gelombang besar terjadi ketika Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring, tewas terlindas kendaraan lapis baja polisi di tengah kericuhan. Nama Affan lalu menjelma simbol luka kolektif: rakyat kecil yang berjuang mencari nafkah justru terhimpit oleh alat negara. Dari sana, solidaritas mengalir deras, mahasiswa bergandengan dengan para pengemudi ojek daring, memperluas gerakan yang tadinya hanya menyoal tunjangan menjadi seruan moral menuntut keadilan.
Namun, luka itu kian dalam ketika sejumlah anggota DPR menanggapi keresahan rakyat dengan nada yang dipandang arogan. Nafa Urbach sempat berkilah soal kesulitan perjalanan kerja, Ahmad Sahroni menyebut sebagian masyarakat sebagai "orang terbodoh di dunia", dan Eko Patrio mengunggah parodi yang dianggap melecehkan jeritan publik. Pernyataan-pernyataan ini bukan sekadar kata-kata; ia merobek simpul empati yang seharusnya menjadi jembatan antara wakil rakyat dan konstituennya.
Benjamin M. Friedman, dalam The Moral Consequences of Economic Growth (2005), menegaskan bahwa pertumbuhan tanpa keadilan dan kepekaan sosial melahirkan kegelisahan kolektif yang berbahaya. Kasus Indonesia menunjukkan hal serupa: bukan hanya soal uang yang tak terbagi adil, tetapi juga soal perasaan dipermalukan. Luka sosial ini hanya bisa disembuhkan bila elit politik belajar merendah, mendengar, dan membuka ruang dialog tulus dengan rakyat. Sebab, keadilan bukan hanya angka di atas kertas, melainkan rasa dihargai sebagai manusia.
Refleksi Kritis
Krisis yang mencuat sejak Agustus 2025 menyadarkan kita bahwa masalah yang dihadapi bangsa ini bukan sekadar urusan angka atau tunjangan. Yang lebih mendasar adalah hilangnya empati dan merosotnya legitimasi politik. Ketika wakil rakyat tak lagi mampu merasakan denyut kegelisahan masyarakat, maka yang runtuh bukan hanya kepercayaan, tetapi juga dasar moral dari jabatan publik itu sendiri.