Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teguran Kecil di Kantor Polisi, Pelajaran Besar tentang Sopan Santun

12 Agustus 2025   04:05 Diperbarui: 11 Agustus 2025   19:00 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polisi dan Anak Muda (Dokumentasi Pribadi)

Pagi itu, Kantor Satlantas Merauke tampak ramai. Di halaman, suara mesin sepeda motor sesekali memecah udara, tanda ujian praktik tengah berlangsung, sementara di ruang tunggu deretan kursi biru berjejer rapi, ditempati orang-orang dengan wajah penuh harap, sebagian memegang map berisi berkas, sebagian menatap kosong ke arah jendela, dengan aroma kopi dari warung kecil di depan kantor sesekali terbawa angin masuk. Di sudut ruangan, mata saya tertumbuk pada seorang anak muda yang duduk santai dengan kedua kaki terangkat, bertumpu di bangku seberang, sikapnya tampak lepas, mungkin tanpa sadar menabrak etika yang seharusnya dijaga di ruang publik. Tak lama, seorang polisi lalu lintas menghampiri; suaranya tenang namun tegas, "Nak, kakinya diturunkan. Ini tempat duduk, bukan sandaran kaki." Tidak ada nada marah, hanya ajakan untuk ingat sopan santun, dan si anak muda pun menurunkan kakinya, sedikit kikuk, lalu mengangguk pelan. Saya mengenal polisi itu, di Polres Merauke, ia dikenal bukan hanya karena ketegasannya menegakkan aturan lalu lintas, tetapi juga kesopanannya dalam berbicara dan keramahan yang membuat orang segan sekaligus nyaman, sosok abdi negara yang memahami bahwa menjaga ketertiban tak hanya soal aturan tertulis, tetapi juga menanamkan rasa hormat dalam hal-hal kecil yang sering kita abaikan.

Inti Peristiwa: Teguran yang Bermakna

Teguran itu datang seperti angin yang menepuk bahu, lembut, namun membuat kita tersadar. Polisi itu memilih kata-kata yang jernih, mengingatkan tanpa menyinggung, menunjukkan bahwa menegur tak harus melukai. Ia memahami, sebagaimana diajarkan Aristoteles dalam Nicomachean Ethics (350 SM), bahwa kebajikan terletak pada keseimbangan: tegas, namun tetap menjaga hormat kepada yang ditegur.

Pesannya sederhana, namun dalam: ruang publik adalah ruang bersama. Duduk dengan pantas, kaki di lantai, tubuh tertata, adalah wujud penghargaan kepada orang lain dan lingkungan. Bangku bukan hanya sekadar tempat duduk, melainkan simbol kenyamanan yang kita bagi. Ketika kita meletakkan kaki di atasnya, kita bukan hanya mengabaikan kebersihan, tetapi juga memutus rantai rasa hormat yang seharusnya terjaga.

Hal ini mungkin tampak sepele, namun seperti yang diingatkan Immanuel Kant dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785), tindakan kecil pun memiliki nilai moral jika dilakukan demi kewajiban dan penghormatan terhadap martabat sesama. Teguran santun itu, meski singkat, adalah pengingat bahwa sopan santun adalah bagian dari peradaban, dijaga bukan karena aturan memaksa, tetapi karena hati memilih untuk menghormati.

Analisis dan Sisi Edukatif

Seorang polisi di ruang publik bukan hanya bayangan aturan dan seragam, tetapi juga cermin perilaku yang dilihat masyarakat. Ketika ia menegur dengan santun, ia sedang menunaikan peran ganda: penegak hukum sekaligus pembina karakter. Sebagaimana diungkapkan Alasdair MacIntyre dalam After Virtue (1981), figur otoritas yang berintegritas menanamkan kebajikan bukan hanya melalui perintah, melainkan lewat teladan nyata.

Namun, akar etika sopan santun tak lahir di kantor polisi, ia bersemi di rumah. Keluarga adalah sekolah pertama di mana anak belajar duduk dengan pantas, berbicara dengan hormat, dan menghargai ruang bersama. Aristoteles menegaskan bahwa kebajikan terbentuk melalui pembiasaan; tanpa latihan sejak dini, sopan santun menjadi bahasa yang asing di masa dewasa.

Mengoreksi hal kecil, seperti posisi kaki di bangku, bukanlah remeh-temeh. Ia adalah pagar awal yang mencegah runtuhnya kesadaran etika publik. Membiarkan pelanggaran kecil adalah membuka pintu bagi kelalaian yang lebih besar. Seperti diingatkan Kant (1785), setiap tindakan, betapapun kecilnya, adalah pernyataan tentang bagaimana kita menghormati orang lain sebagai tujuan, bukan sekadar sarana.

Etika publik menuntut kita sadar bahwa setiap gerak tubuh di ruang bersama adalah pesan yang terbaca oleh orang lain. Duduk dengan sopan, menjaga kebersihan fasilitas umum, adalah cara sederhana namun kuat untuk mengatakan: "Saya menghargai Anda." Dan dari penghargaan itu, peradaban tumbuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun