Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jika Ivan Illich di Era TikTok: Sekolah Masih Perlu?

11 Agustus 2025   04:05 Diperbarui: 10 Agustus 2025   18:08 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Genius of Ivan Illich (Manhattan Institute)

"Sekolah itu tidak penting, tapi untuk mengatakan bahwa sekolah itu tidak penting, kalian mesti sekolah dulu." Kutipan Ivan Illich ini terdengar seperti lelucon cerdas, namun menyimpan ironi tajam tentang bagaimana sistem sekolah membentuk cara berpikir kita, bahkan ketika kita ingin melepaskan diri darinya. Di era digital saat ini, pandangan Illich terasa makin relevan: anak muda belajar memasak, berdiskusi filsafat, hingga memahami konsep sains melalui video singkat di media sosial seperti TikTok. Proses belajar menjadi cepat, bebas, dan terasa menyenangkan, tanpa ruang kelas, tanpa ujian, tanpa guru tetap. Namun, di tengah semangat belajar mandiri yang semakin meluas ini, muncul pertanyaan penting: apakah sekolah formal masih memiliki tempat, ataukah kita sedang menyaksikan awal dari keruntuhan sistem pendidikan konvensional?

Sekilas tentang Ivan Illich dan Gagasan Radikalnya

Ivan Illich (1926--2002) adalah sosok yang tak biasa, seorang imam Katolik berdarah Austria yang banyak berkarya di Amerika Latin, namun justru dikenal luas karena kritik tajamnya terhadap lembaga-lembaga sosial, terutama sekolah. Ia tidak menentang pendidikan sebagai proses, melainkan sekolah sebagai institusi yang dianggapnya terlalu kaku, hierarkis, dan membatasi potensi manusia.

Karya utamanya, Deschooling Society (1971), menjadi tonggak penting dalam pemikiran alternatif tentang pendidikan. Dalam buku ini, Illich menyerukan "pembongkaran" sistem sekolah formal dan menggagas model pembelajaran yang lebih bebas dan mandiri melalui jaringan belajar (learning webs).

Menurut Illich, sekolah bukan hanya tempat belajar, melainkan alat yang menginstitusionalisasi pengetahuan, seakan-akan hanya sah jika diajarkan dalam ruang kelas oleh otoritas tertentu. Sekolah juga menciptakan ketergantungan, membuat individu merasa tak mampu belajar tanpa bimbingan formal. Lebih dari itu, sekolah membatasi kebebasan berpikir, menstandarkan cara belajar, dan sering kali mematikan rasa ingin tahu alami yang justru menjadi inti dari proses pendidikan itu sendiri.

Belajar Mandiri di Era TikTok dan Internet

Apa yang dulu hanya menjadi visi dalam kepala Ivan Illich kini terasa begitu dekat dalam genggaman. Internet, dengan segala kebebasannya, telah menjelma menjadi versi nyata dari learning webs, jaringan belajar yang pernah ia impikan. Illich membayangkan sebuah dunia di mana siapa saja bisa belajar dari siapa saja, kapan saja, tanpa terikat ruang kelas atau kurikulum resmi (Deschooling Society, 1971). Kini, jutaan orang belajar melalui video tutorial, artikel daring, forum diskusi, bahkan kursus gratis yang ditawarkan oleh universitas besar di seluruh dunia.

Salah satu bentuk paling mencolok dari pembelajaran bebas ini adalah TikTok. Aplikasi ini bukan lagi sekadar tempat hiburan ringan, tapi juga wadah edukasi cepat: mulai dari tips belajar efektif, penjelasan sains populer, hingga filosofi hidup yang dibungkus dalam video 15--60 detik. Yang menarik, semua itu hadir dalam format yang non-hierarkis, siapa pun bisa berbagi pengetahuan, tanpa harus bergelar profesor.

Keuntungannya jelas: aksesibel, personal, dan sering kali menyenangkan. Anak muda belajar tanpa tekanan, tanpa takut salah menjawab di depan kelas. Namun, sebagaimana semua hal yang serba instan, ada juga risikonya. Informasi yang terlalu cepat bisa dangkal, bias algoritma bisa membatasi sudut pandang, dan tidak semua konten terverifikasi. Dalam konteks ini, TikTok adalah pisau bermata dua: bisa membebaskan, tapi juga bisa menyesatkan jika tidak disikapi kritis.

Kita berada di persimpangan: antara peluang pembelajaran yang makin terbuka dan tantangan baru dalam memilah kualitas pengetahuan. Dan mungkin, Illich, jika hidup hari ini, akan tersenyum sambil mengingatkan: belajar memang bisa terjadi di mana saja, tapi kebijaksanaan tetap butuh kedalaman dan tanggung jawab.

Ironi Zaman Sekarang: Apakah Sekolah Tetap Dibutuhkan?

Di tengah ledakan akses informasi dan belajar mandiri, sekolah masih bertahan sebagai institusi utama dalam pendidikan. Ini bukan tanpa alasan. Fungsi sekolah jauh melampaui sekadar tempat belajar, ia menjadi pusat sertifikasi, ruang sosialisasi, sarana pengasuhan anak, dan penjaga sistem nilai sosial. Dalam pandangan sosiolog Emile Durkheim dalam Moral Education (1925), sekolah bukan hanya mentransfer pengetahuan, tapi juga membentuk individu agar sesuai dengan norma masyarakat.

Namun, kontradiksi yang dikemukakan Illich tetap relevan. Ironisnya, untuk menjadi "influencer edukasi" yang diakui di TikTok atau media sosial lainnya, seseorang tetap membutuhkan dasar pendidikan formal. Gelar, kredensial, dan kemampuan berpikir sistematis, semuanya masih diperoleh dari sekolah, walau kemudian ditransformasikan dalam format digital.

Di sinilah muncul pertanyaan mendasar: Apakah sekolah akan tersingkir oleh sumber belajar alternatif, atau justru menjadi penuntun di tengah kebisingan informasi? Alih-alih menjadi pesaing, sekolah bisa bertransformasi menjadi ruang yang lentur, yang merayakan kebebasan belajar seperti yang dibayangkan Illich, bukan sebagai benteng kaku, melainkan taman belajar yang terbuka dan dialogis. Tantangannya kini bukan sekadar mempertahankan eksistensi sekolah, tapi memperbarui jiwanya agar tetap relevan dan membebaskan.

Menuju Pendidikan Hybrid: Bukan Sekolah vs TikTok, tapi Sinergi

Membenturkan sekolah dengan belajar mandiri, atau menyandingkan guru dengan TikTok, adalah dikotomi yang menyesatkan. Kita tidak sedang dihadapkan pada pilihan "mana yang lebih baik," melainkan pada peluang untuk menggabungkan kekuatan keduanya. Belajar tak lagi harus terjadi di ruang kelas tertutup, tetapi juga tak harus kehilangan arah hanya karena bebas. Yang kita butuhkan adalah sinergi yang cerdas, pendidikan hybrid yang menggabungkan struktur sekolah dengan fleksibilitas dunia digital.

Sekolah bisa menjadi tempat yang tidak hanya mentransfer kurikulum, tetapi juga membuka ruang eksplorasi. Pembelajaran mandiri, proyek berbasis minat, hingga pemanfaatan konten digital seperti video edukasi atau platform daring, dapat menjadi bagian dari keseharian kelas. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan, bukan yang memaksa, pendidikan yang tumbuh dari dialog dan kesadaran diri.

Untuk itu, kurikulum pun perlu bergerak: dari yang seragam menuju yang lentur dan kontekstual. Setiap peserta didik punya jalan dan cara belajarnya sendiri. Dengan merancang sistem yang menghargai keunikan itu, sekolah bisa menjadi jembatan antara dunia nyata dan dunia maya, antara kebutuhan formal dan semangat kebebasan belajar. Di sinilah harapan pendidikan masa depan: bukan menggantikan, tetapi merangkul dan mengembangkan keduanya.

Akhirnya, jika Ivan Illich hidup di era TikTok, barangkali ia akan tersenyum melihat semangat belajar mandiri yang tumbuh di luar tembok sekolah, sekaligus tetap kritis terhadap ketergantungan baru pada teknologi, algoritma, dan validasi sosial yang kini membentuk cara kita belajar. Sekolah tidak harus kolaps, tetapi perlu direformasi, bukan lagi sebagai penjara pikiran yang menstandarkan segalanya, melainkan sebagai taman belajar yang membebaskan, tempat di mana eksplorasi, keberagaman, dan rasa ingin tahu tumbuh secara alami. Di tengah dunia digital yang terus berubah, tantangannya bukan menghapus sekolah, melainkan menghidupkannya kembali sebagai ruang yang mendukung kebebasan belajar, bukan mendominasi cara berpikir; dengan begitu, sekolah bisa tetap relevan, bukan karena bentuk lamanya, tetapi karena keberanian untuk berubah. (*)

Merauke, 11 Agustus 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun