Ironi Zaman Sekarang: Apakah Sekolah Tetap Dibutuhkan?
Di tengah ledakan akses informasi dan belajar mandiri, sekolah masih bertahan sebagai institusi utama dalam pendidikan. Ini bukan tanpa alasan. Fungsi sekolah jauh melampaui sekadar tempat belajar, ia menjadi pusat sertifikasi, ruang sosialisasi, sarana pengasuhan anak, dan penjaga sistem nilai sosial. Dalam pandangan sosiolog Emile Durkheim dalam Moral Education (1925), sekolah bukan hanya mentransfer pengetahuan, tapi juga membentuk individu agar sesuai dengan norma masyarakat.
Namun, kontradiksi yang dikemukakan Illich tetap relevan. Ironisnya, untuk menjadi "influencer edukasi" yang diakui di TikTok atau media sosial lainnya, seseorang tetap membutuhkan dasar pendidikan formal. Gelar, kredensial, dan kemampuan berpikir sistematis, semuanya masih diperoleh dari sekolah, walau kemudian ditransformasikan dalam format digital.
Di sinilah muncul pertanyaan mendasar: Apakah sekolah akan tersingkir oleh sumber belajar alternatif, atau justru menjadi penuntun di tengah kebisingan informasi? Alih-alih menjadi pesaing, sekolah bisa bertransformasi menjadi ruang yang lentur, yang merayakan kebebasan belajar seperti yang dibayangkan Illich, bukan sebagai benteng kaku, melainkan taman belajar yang terbuka dan dialogis. Tantangannya kini bukan sekadar mempertahankan eksistensi sekolah, tapi memperbarui jiwanya agar tetap relevan dan membebaskan.
Menuju Pendidikan Hybrid: Bukan Sekolah vs TikTok, tapi Sinergi
Membenturkan sekolah dengan belajar mandiri, atau menyandingkan guru dengan TikTok, adalah dikotomi yang menyesatkan. Kita tidak sedang dihadapkan pada pilihan "mana yang lebih baik," melainkan pada peluang untuk menggabungkan kekuatan keduanya. Belajar tak lagi harus terjadi di ruang kelas tertutup, tetapi juga tak harus kehilangan arah hanya karena bebas. Yang kita butuhkan adalah sinergi yang cerdas, pendidikan hybrid yang menggabungkan struktur sekolah dengan fleksibilitas dunia digital.
Sekolah bisa menjadi tempat yang tidak hanya mentransfer kurikulum, tetapi juga membuka ruang eksplorasi. Pembelajaran mandiri, proyek berbasis minat, hingga pemanfaatan konten digital seperti video edukasi atau platform daring, dapat menjadi bagian dari keseharian kelas. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan, bukan yang memaksa, pendidikan yang tumbuh dari dialog dan kesadaran diri.
Untuk itu, kurikulum pun perlu bergerak: dari yang seragam menuju yang lentur dan kontekstual. Setiap peserta didik punya jalan dan cara belajarnya sendiri. Dengan merancang sistem yang menghargai keunikan itu, sekolah bisa menjadi jembatan antara dunia nyata dan dunia maya, antara kebutuhan formal dan semangat kebebasan belajar. Di sinilah harapan pendidikan masa depan: bukan menggantikan, tetapi merangkul dan mengembangkan keduanya.
Akhirnya, jika Ivan Illich hidup di era TikTok, barangkali ia akan tersenyum melihat semangat belajar mandiri yang tumbuh di luar tembok sekolah, sekaligus tetap kritis terhadap ketergantungan baru pada teknologi, algoritma, dan validasi sosial yang kini membentuk cara kita belajar. Sekolah tidak harus kolaps, tetapi perlu direformasi, bukan lagi sebagai penjara pikiran yang menstandarkan segalanya, melainkan sebagai taman belajar yang membebaskan, tempat di mana eksplorasi, keberagaman, dan rasa ingin tahu tumbuh secara alami. Di tengah dunia digital yang terus berubah, tantangannya bukan menghapus sekolah, melainkan menghidupkannya kembali sebagai ruang yang mendukung kebebasan belajar, bukan mendominasi cara berpikir; dengan begitu, sekolah bisa tetap relevan, bukan karena bentuk lamanya, tetapi karena keberanian untuk berubah. (*)
Merauke, 11 Agustus 2025
Agustinus Gereda