Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Sekadar Nilai: Mempertanyakan Paradigma Pendidikan yang Berorientasi pada Hasil

7 Agustus 2025   04:01 Diperbarui: 7 Agustus 2025   04:14 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di banyak ruang kelas di Indonesia, keberhasilan siswa masih sering diukur dari tingginya nilai rapor atau kecepatan menjawab soal, seolah angka menjadi satu-satunya cermin kepintaran. Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir, hingga UTBK dijadikan tolok ukur utama, sementara proses belajar, seperti memahami konsep, membangun nalar, bertanya, bekerja sama, dan menumbuhkan karakter, kerap tersisih dari sistem penilaian. Akibatnya, siswa belajar demi ujian, bukan demi makna, dan guru pun terhimpit target kurikulum serta administrasi yang menyempitkan ruang untuk membimbing proses belajar yang utuh. Tulisan ini mengajak kita semua: guru, orang tua, pembuat kebijakan, dan masyarakat untuk meninjau ulang paradigma pendidikan yang terlalu menekankan hasil, dan mulai membicarakan kembali apa arti sejati dari "belajar" yang mampu membentuk manusia yang berpikir, tumbuh, dan berdaya.

Akar Masalah: Pendidikan yang Hanya Mengejar Angka

Salah satu akar masalah dalam pendidikan Indonesia adalah kecenderungan menjadikan ujian sebagai tolok ukur utama keberhasilan siswa. Nilai dari UTS, UAS, hingga UTBK sering kali menjadi "penentu nasib" siswa, seolah kemampuan menjawab soal dalam waktu terbatas cukup untuk menggambarkan kualitas seseorang. Padahal, seperti dikritisi oleh Pasi Sahlberg dalam Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland?  (2011), ketergantungan pada tes standar justru mengorbankan esensi pembelajaran: tumbuhnya nalar, rasa ingin tahu, dan berpikir kritis.

Sistem kita masih sangat output-oriented, berfokus pada hasil kuantitatif, bukan pada proses belajar yang mendalam dan berkelanjutan. Kurikulum yang padat, jadwal akademik yang ketat, dan budaya kompetisi ranking memperkuat orientasi ini, membuat guru lebih sibuk mengejar target ketimbang memperkuat pemahaman siswa. Akibatnya, pembelajaran cenderung berpusat pada hafalan, bukan pemaknaan, sementara aspek penting seperti kejujuran, kerja sama, empati, kreativitas, dan ketekunan justru terabaikan dalam sistem penilaian formal. Seperti dikemukakan Andreas Schleicher dalam World Class: How to Build a 21st-Century School System (2018), masa depan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan akademik, tapi juga keterampilan sosial dan emosional yang dibentuk lewat proses panjang.

Dengan kondisi tersebut, kegagalan pendidikan bukan hanya soal siswa kurang belajar, melainkan karena sistem belum sungguh-sungguh menghargai belajar sebagai proses yang kompleks, personal, dan tidak selalu bisa diukur dengan angka. Jika pendidikan terus disederhanakan menjadi soal skor ujian, kita akan kehilangan tujuan dasarnya: membentuk manusia yang utuh, bukan sekadar mesin pencetak nilai.

Dampak Buruk yang Ditimbulkan

Ketika sistem pendidikan terlalu menekankan hasil akhir, terutama nilai ujian, dampaknya tidak hanya teknis, tetapi juga menyentuh psikologi siswa, makna belajar, dan keadilan akses pendidikan. Siswa perlahan berubah menjadi "test-taker," bukan pembelajar sejati, dilatih untuk menjawab soal, bukan memahami; untuk lulus, bukan tumbuh. Dalam konteks ini, belajar kehilangan daya hidupnya. Paulo Freire (1970) menyebut fenomena ini sebagai banking concept of education, di mana siswa hanya dipandang sebagai wadah informasi pasif, bukan subjek aktif dalam proses belajar.

Tekanan untuk meraih nilai tinggi juga berdampak serius pada kesehatan mental siswa. Putwain & Daly dalam Test Anxiety and Academic Performance (2013) menunjukkan bahwa tekanan akademik kronis dapat memicu stres, kecemasan, dan menurunkan motivasi intrinsik untuk belajar. Sayangnya, isu kesehatan mental masih sering diabaikan dalam sistem pendidikan kita, padahal siswa yang cemas lebih cenderung belajar demi menghindari kegagalan, bukan demi pemahaman yang bermakna.

Lebih dari itu, fokus pada hafalan dan soal pilihan ganda juga menghambat penguasaan keterampilan abad 21 seperti berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas, kompetensi yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi dunia kerja dan tantangan global. Trilling dan Fadel dalam 21st Century Skills (2009) menegaskan bahwa pendidikan yang bermakna tidak bisa hanya berbasis konten, tapi juga harus membentuk karakter dan keterampilan hidup.

Pendekatan yang lebih berorientasi pada hasil juga memperparah ketimpangan akses pendidikan. Sekolah di daerah urban dengan fasilitas memadai memiliki keunggulan dalam menghadapi ujian, sementara sekolah di pelosok sering tertinggal karena minim sumber daya. Penilaian yang seragam dan tidak kontekstual, seperti dijelaskan dalam laporan UNESCO Global Education Monitoring Report (2020), justru memperkuat ketidaksetaraan. Jika sistem ini terus dipaksakan, kita bukan hanya menghambat potensi siswa, tetapi juga memperkuat struktur ketidakadilan yang sistemik dan mengabaikan keunikan dalam proses belajar. Sudah waktunya kita bertanya: apakah hasil yang kita kejar benar-benar sepadan dengan yang kita korbankan?

Alternatif: Menyeimbangkan Proses dan Hasil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun