Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menemani Anak di Era Digital: Misi Guru bagi Generasi Alpha

30 Juni 2025   04:25 Diperbarui: 30 Juni 2025   04:38 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Namun tentu, di balik segala kemudahan yang ditawarkan teknologi, ada pula tantangan yang tak bisa diabaikan. Gawai bisa menjadi jendela dunia, tetapi juga bisa menjadi tembok perhatian. Ketergantungan pada layar, paparan konten berlebih, hingga berkurangnya fokus adalah risiko nyata yang perlu diantisipasi secara bijak. Maka, di tangan pendidiklah peran krusial itu berada, memastikan teknologi menjadi alat belajar, bukan pengganti hubungan antar-manusia.

Kesiapan Guru: Dari Paradigma Lama ke Praktik Baru

Kita hidup di masa ketika guru dan murid berasal dari dunia yang nyaris tak bersinggungan dalam hal pengalaman teknologi. Sering, 'anak lebih fasih menggunakan gawai daripada gurunya sendiri.' Fenomena ini menandakan adanya 'gap generasi dan digital' yang nyata. Guru dari Gen X atau awal Gen Y membawa pendekatan belajar masa lalu yang cenderung linier dan verbal, sementara murid dari Gen Alpha hidup dalam dunia yang serba-cepat, visual, dan responsif terhadap stimulasi digital. Kesenjangan ini tak hanya bersifat teknis, tapi juga menyentuh dimensi psikologis dan kultural (Fullan, Stratosphere: Integrating Technology, Pedagogy, and Change Knowledge, 2012).

Di sinilah muncul kebutuhan akan 'transformasi mendasar dalam diri guru,' bukan hanya pada level metode, tetapi juga cara berpikir dan menghadirkan diri di ruang kelas. Pertama, 'literasi digital' menjadi fondasi baru dalam kompetensi profesional. Seorang guru tak perlu menjadi ahli teknologi, tetapi mesti cukup fasih untuk menggunakan teknologi sebagai jembatan, bukan sebagai hambatan. Lebih lanjut, dibutuhkan 'pedagogi yang inovatif,' yang mampu mengintegrasikan teknologi dengan nilai dan makna, bukan sekadar memindahkan papan tulis ke layar (Laurillard, Teaching as a Design Science, 2012).

Kedua, pendekatan mengajar perlu lebih 'fleksibel dan adaptif,' karena anak-anak Gen Alpha belajar dengan cara yang tidak seragam. Mereka membutuhkan ruang untuk eksplorasi, bukan sekadar pengulangan hafalan. Guru harus mampu membaca kebutuhan individu dan merancang pembelajaran yang personal, tanpa kehilangan arah kolektif. Dalam hal ini, konsep Universal Design for Learning (CAST, 2018) menawarkan pendekatan yang inklusif dan lentur terhadap keragaman gaya belajar.

Ketiga, 'keteladanan nilai dan keseimbangan emosional.' Di tengah teknologi yang dingin dan serba-otomatis, guru tetap dibutuhkan sebagai wajah manusia yang hadir dengan empati, konsistensi, dan kehadiran penuh makna. Palmer, dalam The Courage to Teach (1998) mengungkapkan, esensi pendidikan bukan terletak pada teknik, tetapi keberanian untuk hadir sebagai diri otentik dalam relasi yang menyembuhkan.

Maka, guru zaman ini bukan lagi "sumber pengetahuan," tetapi 'pembelajar sepanjang hayat,' yang dengan rendah hati terus memperbarui diri. Ia bukan hanya mempersiapkan anak-anak menghadapi masa depan, tetapi bersedia berjalan bersama mereka, belajar, bertanya, dan tumbuh dalam dunia yang terus berubah. Itulah wajah baru guru: lentur dalam cara, teguh dalam makna.

Akhirnya, menemani anak-anak di era digital tidak selalu menuntut kecanggihan teknologi, melainkan kehadiran yang utuh dan kasih yang tulus, dua hal yang tak bisa diunduh. Di tengah derasnya informasi, Gen Alpha tetap merindukan figur dewasa yang melihat mereka sebagai pribadi, bukan sekadar pelajar. Masa depan pendidikan bukan ditentukan oleh cepatnya perkembangan teknologi, tetapi keberanian guru untuk berubah: keluar dari zona nyaman, merombak cara lama, dan tetap menjadi manusia utuh di hadapan anak yang hidup dalam algoritma. Di sinilah letak misi guru masa kini, menanam nilai di tengah pusaran algoritma, dengan membawa kejujuran, ketekunan, kasih sayang, dan harapan sebagai bekal anak menghadapi masa depan. Maka, menjadi guru bagi Gen Alpha bukan sekadar profesi, tetapi panggilan pengabdian yang sunyi namun penuh daya, yang menuntut hati seluas langit dan tekad seteguh akar. (*)

Merauke, 30 Juni 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun