Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menemani Anak di Era Digital: Misi Guru bagi Generasi Alpha

30 Juni 2025   04:25 Diperbarui: 30 Juni 2025   04:38 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kita hidup di tengah arus perubahan yang nyaris tak memberi jeda, ketika teknologi digital merambah hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk cara anak-anak tumbuh dan belajar. Dari rahim zaman ini lahirlah Generasi Alpha (disingkat Gen Alpha), anak-anak yang sejak dini terbentuk oleh dunia digital, bukan sekadar akrab dengannya. Namun, di balik perkembangan mereka yang begitu cepat, masih ada ketimpangan mencolok antara pola belajar anak dengan kesiapan lingkungan pendidikan. Ruang kelas sering kali tertinggal dalam pendekatan yang seragam dan lama, sementara anak-anak sudah melangkah dengan cara berpikir yang visual, kritis, dan interaktif. Maka, peran guru (khususnya di PAUD, SD, dan SMP) harus bergeser, bukan hanya sebagai penyampai materi, tetapi sebagai penuntun jiwa dan peneman batin yang hadir dengan empati, kepekaan, dan semangat belajar yang terus hidup di tengah dunia yang makin kompleks.

Siapa Itu Generasi Alpha?

Dalam lintasan sejarah manusia modern, pembabakan generasi menjadi salah satu cara untuk memahami perubahan sosial dan psikologis yang terjadi lintas waktu. Gen Alpha adalah sebutan bagi anak-anak yang lahir mulai tahun 2010-2025, generasi yang lahir bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan teknologi cerdas dan digitalisasi kehidupan sehari-hari. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Mark McCrindle, seorang sosiolog dan peneliti demografi asal Australia ("The ABC of XYZ: Understanding the Global Generations," 2014).

Berbeda dari pendahulunya (Generasi X, Y (Milenial), dan Z), anak-anak Gen Alpha tidak mengalami masa transisi teknologi. Mereka lahir dalam dunia yang telah terkoneksi, otomatis, dan algoritmik. Dengan kata lain, mereka adalah digital native sejati. Orang tua mereka sebagian besar adalah Gen Y dan Gen Z, generasi yang sudah lebih dulu terbiasa dengan internet dan media sosial, sehingga pola pengasuhan pun sangat dipengaruhi oleh budaya digital.

Karakteristik umum Gen Alpha menunjukkan lanskap psikososial yang unik. Mereka cenderung 'cepat tanggap terhadap informasi,' sangat terbiasa dengan 'stimulus visual dan interaktif,' serta 'mampu melakukan banyak hal dalam waktu bersamaan (multitasking).' Anak-anak ini terbiasa belajar melalui video, simulasi, atau aplikasi interaktif dibanding sekadar membaca buku teks. Namun di balik kemampuan mereka yang mengesankan, terdapat juga tantangan yang tak bisa diabaikan. Gen Alpha rentan terhadap 'gangguan perhatian' (distraksi), lebih mudah gelisah dalam situasi yang monoton, dan sering membutuhkan pendekatan belajar yang lebih personal serta kontekstual (Twenge, iGen, 2017).

Menilik realitas ini, kita diingatkan bahwa generasi ini bukan hanya berbeda secara teknologis, tetapi juga dalam cara memahami dunia, berinteraksi, dan membentuk identitas. Maka, mengenali siapa mereka menjadi langkah pertama untuk membimbing mereka secara utuh, bukan sekadar memenuhi kebutuhan akademik, tetapi menyentuh kedalaman cara berpikir dan bertumbuh mereka.

Gaya Belajar Anak Era Digital

Setiap anak membawa dunia dalam dirinya, dan dunia Gen Alpha dibentuk oleh kecepatan, keterhubungan, dan pengalaman digital. Mereka bukan hanya akrab dengan teknologi, tetapi tumbuh bersama dengannya, sehingga cara mereka belajar pun tak bisa dipisahkan dari lingkungan digital yang membentuk mereka. Dalam konteks ini, metode pembelajaran konvensional yang satu arah dan terlalu abstrak sering gagal menyentuh kedalaman perhatian mereka.

Anak-anak Gen Alpha cenderung lebih responsif terhadap 'pengalaman belajar langsung' (experiential learning). Mereka belajar melalui simulasi, eksperimen, permainan edukatif, dan proyek nyata yang melibatkan peran aktif. Pendekatan ini sejalan dengan teori pembelajaran pengalaman yang dikembangkan oleh David Kolb (Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development, 1984), yang menekankan pentingnya keterlibatan langsung dalam proses pembentukan pengetahuan.

Selain itu, gaya belajar mereka sangat dipengaruhi oleh paparan media digital sejak usia dini. Mereka terbiasa dengan konten yang 'visual, interaktif, dan singkat' (bite-sized learning). Gaya ini memungkinkan mereka memahami materi dalam format modular dan ringkas, tapi juga menuntut guru untuk kreatif mengemas materi secara menarik dan dinamis (Gee, What Video Games Have to Teach Us About Learning and Literacy, 2003).

Menariknya, meskipun mereka tumbuh dalam dunia maya yang luas dan terbuka, anak-anak Gen Alpha tetap menunjukkan kebutuhan akan 'interaksi sosial yang nyata dan kolaboratif.' Mereka menyukai kerja tim, eksplorasi kelompok, namun sekaligus merindukan pendekatan personal, karena dalam keramaian digital, mereka tetap membutuhkan figur dewasa yang hadir secara autentik. Dalam pandangan Vygotsky (Mind in Society, 1978), proses belajar anak selalu terjadi dalam konteks sosial dan relasi, dan kebutuhan ini tak berubah meski medianya berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun