Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gengsi yang Menguras Dompet: Menikah Sekali, Berutang Seumur Hidup

9 Juni 2025   04:25 Diperbarui: 9 Juni 2025   17:44 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dekorasi pesta pernikahan. (Shutterstock/Satit Sewiw via Kompas.com)

Ketegangan finansial itu tak berhenti di angka dan tabel Excel. Ia merambat ke ruang paling sunyi: hati dan relasi. Konflik rumah tangga pun kerap bermula dari tekanan ekonomi yang tak kunjung reda. Kata-kata yang dulu manis menjadi senjata, dan kehangatan berubah jadi saling menyalahkan. Menurut laporan Indeks Ketahanan Keluarga Indonesia (BKKBN, 2020), 38% perceraian dalam lima tahun pertama pernikahan berkaitan dengan masalah ekonomi, yang mayoritas berasal dari ketidaksiapan mengelola pengeluaran besar di awal pernikahan.

Sayangnya, dalam pusaran itu, pasangan muda sering harus mengorbankan hal-hal yang jauh lebih penting. Tabungan untuk membeli rumah tinggal hanya angan-angan, rencana membuka usaha harus ditunda tanpa batas waktu, dan kelak---ketika anak lahir---biaya pendidikan pun terancam tak tercukupi. Dalam riset yang dipublikasikan oleh Santrock (Life-Span Development, 2018), disebutkan bahwa kestabilan finansial awal menjadi faktor penting dalam menciptakan keamanan psikologis bagi pasangan dan anak. Ketika hal itu terganggu sejak awal, maka generasi berikutnya pun ikut merasakan dampaknya.

Dengan demikian, pesta mewah yang hanya berlangsung semalam, ternyata bisa mencuri begitu banyak dari masa depan. Bukan hanya angka di rekening, tapi juga ketenangan, kepercayaan, bahkan mimpi-mimpi yang seharusnya tumbuh bersama cinta.

Solusi yang Diusulkan

Langit tidak akan runtuh jika pesta pernikahan digelar sederhana. Janji suci tidak akan kehilangan maknanya hanya karena tak ada dekorasi megah atau undangan berlapis mutiara. Yang perlu diubah pertama-tama adalah paradigma: bahwa menikah bukanlah pertunjukan, melainkan permulaan sebuah perjalanan panjang yang menuntut komitmen, kesiapan, dan kedewasaan. Pernikahan bukan panggung sandiwara gengsi, melainkan ladang tempat dua hati belajar menyemai harapan.

Perubahan paradigma ini mesti disertai dengan pendidikan finansial yang memadai, jauh sebelum cincin disematkan di jari. Bukan sekadar kursus kilat persiapan pernikahan yang hanya mengupas soal komunikasi dan moralitas, tetapi pelatihan nyata untuk menyusun anggaran, menetapkan skala prioritas, hingga memahami risiko dan tanggung jawab finansial bersama. Dalam Money Smart Marriage (2020), Maria Savitri menekankan bahwa ketahanan rumah tangga modern bertumpu pada kemampuan pasangan untuk mengelola sumber daya ekonomi secara bijak sejak sebelum hari pernikahan. Tanpa bekal ini, cinta bisa karam, bukan karena kekurangan, melainkan karena kebingungan.

Perlu disuarakan kembali nilai-nilai kesederhanaan yang penuh makna. Pernikahan yang sah menurut adat dan agama, misalnya dalam Gereja Katolik melalui sakramen perkawinan, jauh lebih mulia daripada resepsi mewah yang dilaksanakan dengan utang. Dalam pandangan Paus Fransiskus melalui Amoris Laetitia (2016), pernikahan bukanlah perayaan eksternal, melainkan "tindakan spiritual yang menyatukan dua pribadi dalam kehadiran Allah dan komunitas." Maka, resepsi yang meriah bukanlah syarat kebahagiaan; makna sejati justru lahir dari kesadaran akan nilai kudus dan komitmen yang dijunjung bersama.

Orang tua wajib menjadi pendukung dan pelindung, bukan justru pemicu tekanan. Dorongan halus untuk "menaikkan gengsi keluarga" sering memaksa anak-anak mengambil keputusan tak bijak. Padahal, kehormatan sejati bukan berasal dari besar kecilnya pesta, melainkan dari rumah tangga yang kokoh dan damai. Sebagaimana ditulis oleh Psikolog keluarga Najeela Shihab dalam Sekolah Kehidupan (2019), keluarga yang suportif mampu menjadi jangkar emosi dan akal sehat ketika pasangan muda menghadapi pilihan sulit.

Perlunya kampanye publik yang menormalisasi pernikahan hemat dan bijak---baik lewat media sosial, televisi, hingga konten influencer yang kini menjadi panutan banyak orang. Representasi gaya hidup realistis, termasuk dalam hal pernikahan, harus diangkat dan dibanggakan. Riset dari McKinsey & Company (2023) mencatat bahwa konsumen muda semakin menghargai konten yang autentik dan membumi, ketimbang gaya hidup hedonistik yang dipaksakan. Dengan demikian, langkah kecil ini bisa menjadi gerakan besar yang menyadarkan bahwa pernikahan tak harus jadi beban, melainkan awal hidup yang ringan, rasional, dan penuh cinta.

Pada akhirnya, pesta megah hanyalah serpihan waktu yang segera hilang, sementara cicilan dan luka akibat tekanan finansial bisa menetap seumur hidup; gengsi yang dibangun sehari semalam tak sebanding dengan tahun-tahun kelelahan dan pertengkaran yang mungkin menyusul. Menikah memang hanya sekali, tetapi hidup bersama setelahnya adalah perjalanan panjang yang sarat ujian: layakkah ia dimulai dengan utang dan kepalsuan? Sudah waktunya kita membalik arah: mendirikan rumah tangga tak perlu panggung besar, cukup dengan fondasi nilai, tanggung jawab, dan cinta yang bersahaja. Jangan biarkan ilusi kemewahan merampas keheningan batin dan keutuhan masa depan, karena sejatinya, pernikahan bukan tentang seberapa megah dekorasinya, tetapi seberapa kokoh dua hati saling menggenggam ketika dunia tak lagi ikut merayakan. (*)

Merauke, 9 Juni 2025

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun