Di gang-gang sempit kota kecil hingga lorong kampung berdebu tanah merah, pesta pernikahan sering menjelma panggung gemerlap semalam, lengkap dengan tenda megah, hiasan menjuntai, dan dentuman musik bak pesta hotel bintang lima---semua mata terpaku, bukan hanya pada mempelai, tetapi pada kemewahan yang dipertontonkan. Namun di balik senyum dan riasan bahagia, tersembunyi kenyataan pahit: utang membengkak dan mimpi masa depan yang tergadai. "Menikah hanya sekali seumur hidup" menjadi dalih sakral yang sulit dibantah, padahal bagi banyak pasangan sederhana, justru membawa mereka ke pusaran utang dan beban rumah tangga sejak awal. Pesta yang semestinya menandai awal kehidupan bersama berubah menjadi jebakan manis bernama gengsi---demi citra di mata tetangga dan senyum basa-basi tamu undangan, banyak pasangan rela mengorbankan logika dan masa depan demi kemewahan sehari yang menjadikan kestabilan hidup bertahun-tahun sebagai harga yang harus dibayar.
Akar Permasalahan
Di balik pesta yang gemerlap dan undangan berlapis emas, tersembunyi sebentuk ilusi yang kian hari kian menjerat: keinginan untuk terlihat lebih daripada kenyataan. Dalam masyarakat kita, terutama kalangan menengah ke bawah, budaya pamer telah menjelma jadi kewajiban tak tertulis. Pernikahan tak lagi soal sakralitas janji, tetapi ajang unjuk prestise kepada keluarga, tetangga, bahkan kerabat jauh yang hanya datang sekali dalam sepuluh tahun. Gengsi menjadi mata uang sosial, dan pesta pernikahan menjadi wadah transaksinya.
Tekanan sosial tak datang sendirian. Ia bersalin rupa dalam lirikan tetangga, bisikan keluarga, hingga harapan diam-diam orang tua yang merasa punya "harga diri" lewat megahnya resepsi anaknya. Dalam kajian Sosiolog Ulfah Rahmiyati (Budaya Konsumtif dan Identitas Sosial, 2019), ditegaskan bahwa perilaku konsumtif masyarakat sering dipicu oleh dorongan untuk mempertahankan citra diri di mata komunitas sosial. Dalam konteks pernikahan, tekanan ini melahirkan kompetisi tak kasat mata: siapa yang pestanya paling meriah, siapa yang paling pantas dibicarakan setelah hari H.
Namun, api gengsi tak hanya disulut dari dunia nyata. Media sosial, yang seolah jadi panggung utama kehidupan hari ini, menjadi katalis yang mempercepat dan memperluas obsesi akan pesta yang sempurna. Foto-foto prewedding di tepi danau, dekorasi bertema negeri dongeng, hingga video sinematik ala selebritas, membangun standar baru yang nyaris mustahil dicapai tanpa ongkos besar. Dalam riset Amanda Lenhart (Social Media and the Pressure to Perform, 2022), disebutkan bahwa 63% pengguna media sosial usia produktif merasa tertekan menampilkan momen hidup mereka secara sempurna, termasuk dalam hal pernikahan.
Lebih memprihatinkan, budaya ini menjangkiti kelompok yang justru paling rentan: pasangan muda yang belum mapan secara ekonomis. Minimnya literasi finansial membuat mereka abai terhadap konsekuensi panjang dari utang konsumtif. Mereka tidak menyadari bahwa pesta satu hari itu bisa mengunci kebebasan finansial selama bertahun-tahun. Seperti yang diungkapkan oleh Ligia Dewi dkk. (Literasi Keuangan Generasi Milenial, 2020), rendahnya pengetahuan dasar soal perencanaan keuangan di kalangan milenial Indonesia membuat mereka rentan mengambil keputusan boros demi ekspektasi sosial.
Pesta usai. Pelaminan dibongkar. Namun bayangan cicilan masih panjang, menunggu di setiap akhir bulan. Dan kadang, saat realitas menghantam, rasa sesal baru menampakkan wajahnya. Terlambat, tapi nyata.
Dampak Negatif
Pesta telah berlalu. Lampu-lampu telah padam, tenda-tenda dirapikan, dan bunga-bunga mulai layu di pelaminan yang kemarin disesaki senyum dan pujian. Tapi satu hal tak ikut pergi: utang. Seperti bayang-bayang yang mengikuti dalam diam, cicilan pun datang satu per satu, mengetuk pintu rumah yang baru dibangun dengan harapan, tapi kini mulai retak oleh kenyataan.
Bagi banyak pasangan muda, beban utang pasca pesta adalah duri dalam permulaan. Di bulan madu yang seharusnya penuh manis, mereka justru dihantui oleh angka-angka: nominal pinjaman, bunga cicilan, dan tenggat pembayaran. Dalam Generasi Sandwich: Menavigasi Keuangan di Tengah Tekanan (2021), Farhan Nugraha menyebutkan bahwa beban ekonomi awal dalam pernikahan menjadi salah satu pemicu stres akut pada pasangan usia produktif. Mereka belum sempat membangun fondasi ekonomi, namun sudah dipaksa menyusun strategi pelunasan utang yang tak jarang melebihi pendapatan.