Senin pagi, 05 Mei 2025, langit Merauke mencurahkan hujan tanpa guntur maupun sorak. Saya berada di pelataran SMK Santo Antonius, menyaksikan wajah-wajah muda berbaris rapi dalam kelulusan yang hening: tanpa semprotan piloks, tanpa deru knalpot, hanya suara kepala sekolah mengumumkan kelulusan dengan penegasan yang terasa baru dan berani: "Tahun ini, tidak ada konvoi, tidak ada coret-coret seragam, tidak ada kebisingan," sementara beberapa anggota kepolisian berdiri tenang di tepian halaman untuk menjaga ritme ketertiban yang telah disepakati. Suasana ini sungguh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yang dirayakan dengan euforia memekakkan jalanan: klakson bersahut-sahutan, pakaian dicoret tanpa makna, dan kendaraan melaju tanpa arah, seolah kelulusan adalah pesta liar yang melupakan orang lain. Kini, hanya gemuruh dalam dada yang terdengar, diam yang hangat, dan sejumput syukur yang tak lagi butuh perayaan gaduh. Pertanyaan pun muncul: Apakah euforia harus selalu diwujudkan dalam hiruk-pikuk? Apakah kegembiraan tak bisa disampaikan dalam ketenangan yang tertata? Barangkali, inilah tonggak kecil dari kematangan sosial: perayaan kelulusan tanpa konvoi yang bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan cermin dari kesadaran baru bahwa penghormatan terhadap sesama dan ruang bersama adalah bagian dari pendidikan, mungkin pelajaran terakhir sebelum benar-benar meninggalkan bangku sekolah.
Vandalisme dalam Seragam Kelulusan: Normalisasi yang Salah
Ingatan kita masih jelas, betapa setiap akhir masa sekolah selalu disambut dengan ritual yang telah menjadi semacam "kewajiban budaya": mencoret seragam putih abu-abu dengan spidol permanen, menyemprotkan piloks seperti seniman jalanan yang kehilangan kanvas, lalu turun ke jalan dalam konvoi motor berboncengan, berteriak sepuasnya seolah dunia milik mereka dan kelulusan adalah pembebasan dari segala beban. Di sanalah, di tengah hiruk-pikuk yang disebut "kebebasan," kekacauan sering dijadikan pembenaran.
Namun, bukankah kita terlalu lama diam terhadap bentuk vandalisme yang diam-diam kita benarkan? Bukankah aneh bahwa seragam sekolah---yang seharusnya menjadi simbol disiplin, perjuangan, dan penghormatan terhadap proses belajar---justru diperlakukan seperti kain lap yang boleh dicorat-coret tanpa makna? Bukankah jalan raya, yang sejatinya adalah ruang bersama bagi semua lapisan masyarakat, telah dinodai dengan konvoi tanpa arah, yang menebar suara bising, debu, dan bahkan rasa takut bagi pengguna jalan lain?
Inilah normalisasi yang salah: ketika pelampiasan dijadikan bentuk ekspresi, ketika kebisingan disetarakan dengan kebahagiaan, dan ketika perayaan menjadi ajang pengabaian terhadap sesama. Di balik sorak-sorai kelulusan itu, sering tersembunyi deretan keluhan: dari pengendara yang terjebak macet, dari ibu yang membawa anak kecil yang terkejut oleh klakson liar, dari ambulans yang tertahan lajunya karena iring-iringan tak tertib.
Kelulusan semestinya menandai puncak pencapaian intelektual dan kedewasaan, bukan sekadar selebrasi impulsif yang menihilkan nilai-nilai yang justru ditanamkan selama di bangku sekolah. Ketika seragam menjadi medium vandalisme, dan jalanan berubah jadi panggung ego, maka yang sedang dirayakan bukan lagi keberhasilan belajar, melainkan kegagalan memahami makna kebebasan itu sendiri.
Kelulusan Hening: Simbol Etika Baru dalam Perayaan
Tahun ini, kebijakan kelulusan di berbagai sekolah menengah mengambil arah yang tidak biasa, bahkan mungkin bagi sebagian dianggap berani. Pengumuman kelulusan dilakukan serentak, tanpa perayaan masif, tanpa konvoi, tanpa coret-coret, tanpa piloks yang merusak seragam atau dinding kota. Alih-alih menyulut euforia jalanan, siswa diajak menyambut kelulusan dalam kesederhanaan yang tertib. Tidak ada larangan yang bersifat menghakimi, tidak ada ancaman, hanya seruan akan kedewasaan: "Mari rayakan kelulusan dengan cara yang lebih bijak." Sebuah ajakan yang terdengar sejuk di tengah dunia yang terbiasa berteriak.
Yang menarik, dengan tidak mencoret seragam, terbuka ruang untuk tindakan nyata: seragam putih abu-abu yang masih layak pakai bisa dikumpulkan, dibersihkan, dan disumbangkan kepada adik kelas atau siswa baru dari keluarga kurang mampu. Dari kain yang dulunya hanya menjadi saksi perjuangan, seragam itu berubah menjadi jembatan solidaritas yang sederhana namun menyentuh. Ia tidak lagi berakhir di tempat sampah atau menjadi artefak egosentris, tetapi diteruskan, dipakai kembali, memberi napas kedua bagi perjuangan berikutnya.
Di sinilah kelulusan menemukan makna baru: bahwa perayaan tak harus destruktif untuk terasa membebaskan. Ada kebebasan dalam menahan diri, ada kepuasan dalam memberi. Ada kegembiraan yang lahir bukan dari ledakan suara knalpot, melainkan dari kesadaran bahwa kita mampu memilih cara yang lebih beradab untuk menandai tonggak hidup. Kelulusan yang hening ternyata mampu menggema lebih jauh, bukan karena riuhnya, tapi karena makna yang dibawanya: bahwa kedewasaan dimulai dari cara kita memilih bersikap di tengah kebebasan.
Ruang Publik sebagai Hak Bersama