Dalam masyarakat kita, ketika kejahatan terjadi, solusi yang paling cepat terlintas adalah satu kata: penjara. Namun, apakah benar penjara masih menjadi solusi efektif untuk menghentikan kejahatan? Dalam sudut pandang penologi—ilmu yang mengkaji sistem pemidanaan dan pemasyarakatan—pertanyaan ini menjadi semakin relevan.
Realitas di Balik Tembok Penjara
Per 2024, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia telah menembus lebih dari 270 ribu orang, sementara kapasitas idealnya hanya setengahnya. Ini menunjukkan kondisi over kapasitas yang parah, berdampak pada kualitas pembinaan dan kehidupan para narapidana.
Studi dari LIPI dan beberapa NGO hukum menunjukkan bahwa banyak mantan narapidana kembali melakukan kejahatan. Tingginya tingkat residivisme ini membuktikan bahwa penjara tidak selalu berhasil memberi efek jera.
Mengapa Efek Jera Tidak Tercapai?
Program pembinaan di penjara minim dan formalitas. Pelatihan keterampilan seringkali tidak berlanjut menjadi peluang kerja nyata.
Stigma sosial yang kuat. Setelah bebas, banyak mantan narapidana ditolak kembali oleh masyarakat.
Klasifikasi narapidana tidak efektif. Pelaku kejahatan ringan sering disatukan dengan pelaku kejahatan berat—hasilnya, “belajar jadi lebih jahat”.
Penologi: Menimbang Ulang Pemidanaan
Penologi tidak hanya melihat hukuman sebagai balasan, tetapi sebagai sarana rehabilitasi. Tujuan akhirnya adalah reintegrasi sosial. Hukuman harus membangun, bukan menghancurkan.
Rekomendasi: