Pendidikan abad ke-21 mengalami arus perubahan besar yang dipicu oleh teknologi yang berkembang pesat dan menyentuh seluruh dimensi, tidak terkecuali pada bidang pendidikan. Perkembangan teknologi yang begitu cepat mengubah cara manusia belajar, berinteraksi, dan memahami pengetahuan. Kemunculan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjadi salah satu penanda paling kuat dari perubahan tersebut. Teknologi ini tidak sekadar menjadi alat bantu, tetapi secara perlahan mengambil alih berbagai fungsi yang selama ini melekat pada proses pembelajaran. Buku tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar, peran pendidik bergeser, instrumen evaluasi menjadi semakin terotomatisasi, bahan ajar dapat dirancang secara instan, dan proses pemantauan belajar peserta didik semakin terukur oleh sistem digital. Akhirnya fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang arah pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan tetap berfungsi sebagai proses memanusiakan manusia atau berubah menjadi mekanisme produksi pengetahuan tanpa nilai kemanusiaan?
Kemajuan teknologi membuka ruang baru bagi dunia pendidikan, namun pada saat yang sama menyimpan potensi bergesernya arah dan makna filosofisnya. Keberadaan filsafat pendidikan tidak dimaksudkan untuk menolak kehadiran AI, melainkan untuk menjadi penuntun agar teknologi tetap berpihak pada nilai, martabat, dan hakikat manusia sebagai makhluk yang berpikir sekaligus berperasaan.
Keberadaan Filsafat pendidikan sebagai dasar ilmu sejak awal berfokus pada manusia. Seperti keberadaan tokoh-tokoh filsafat berikut, Plato yang menganggap pendidikan sebagai proses membersihkan jiwa menuju kebenaran. John Dewey menyatakan bahwa pendidikan adalah pengalaman yang mempersiapkan orang untuk hidup demokratis. Serta, Ki Hadjar Dewantara melihat pendidikan sebagai upaya menuntun segala kekuatan kodrat manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Filsafat-filsafat tersebut berangkat dari keyakinan bahwa manusia merupakan subjek utama dalam pendidikan, bukan sekadar objek dari sebuah sistem. Martabat manusia terletak pada kemampuannya untuk berpikir, berempati, dan memikul tanggung jawab. Apabila pendidikan hanya diarahkan pada penyebaran informasi dan analisis data, dimensi kemanusiaan akan terpinggirkan. AI mampu mengenali pola, tetapi tidak memiliki kesadaran akan nilai. AI mampu mengajarkan cara, tetapi tidak dapat menanamkan makna. Menjaga harmoni antara keutuhan manusia dan efisiensi teknologi menjadi tugas mendasar bagi filsafat pendidikan.
Kehadiran AI telah membawa perubahan besar pada cara pembelajaran berlangsung. Teknologi ini hadir dalam beragam bentuk sesuai fungsinya, seperti AI sebagai Tutor Digital seperti ChatGPT dan Duolingo yang memberikan umpan balik cepat dan materi adaptif sesuai kebutuhan peserta didik. Selain itu, AI berperan sebagai Asisten Pengajar melalui platform seperti ChatGPT dan Canvas AI yang membantu memperkaya proses pembelajaran. AI juga dimanfaatkan sebagai Sistem Analitik Pembelajaran melalui Edmodo Insight atau Moodle Analytics untuk memantau perkembangan belajar secara lebih akurat. Di bidang evaluasi, AI berfungsi sebagai Sistem Asesmen Adaptif seperti pada berbagai platform EdTech yang memungkinkan penilaian lebih personal.
Perkembangan tersebut memperlihatkan kemampuan AI dalam mendukung, memfasilitasi, dan mengoordinasikan beragam kebutuhan pembelajaran. Namun bersamaan dengan adanya konsekuensi yang perlu diwaspadai, yakni berkurangnya intensitas interaksi langsung antara guru dan peserta didik ketika sebagian besar aktivitas dialihkan kepada sistem digital. Pembelajaran yang serba instan berpotensi menggeser makna pendidikan yang sejatinya membentuk kesadaran kritis dan kepekaan kemanusiaan. Tanpa fondasi filsafat pendidikan yang kokoh, manusia dapat tumbuh menjadi pengguna teknologi yang cakap secara teknis, tetapi kehilangan arah moral dan nurani kemanusiaannya.
Filsafat pendidikan berperan sebagai penuntun yang membantu menjaga arah dan nilai dalam dunia pendidikan. Diantaranya ditinjau dari perspektif rekonstruksionisme yang menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya berfungsi mentransfer pengetahuan, tetapi juga menjadi kekuatan transformatif dalam membentuk masyarakat yang lebih adil. Â Kehadiran AI semestinya dimanfaatkan bukan sekadar demi efisiensi pembelajaran, melainkan untuk memperluas akses, memperkuat keadilan sosial, serta memastikan pendidikan tetap berpihak pada kemanusiaan. Dalam konteks pembelajaran IPA, AI dapat digunakan untuk menganalisis fenomena lingkungan seperti pencemaran air, perubahan iklim, atau penggunaan energi, sehingga peserta didik dapat mengaitkan konsep ilmiah dengan realitas sosial dan ekologis di sekitarnya. Guru kemudian membimbing peserta didik untuk mendiskusikan dampak sosial dari temuan ilmiah tersebut, misalnya menganalisis kelompok masyarakat yang paling terdampak oleh krisis lingkungan tersebut. Dengan demikian, pembelajaran IPA tidak hanya mengasah kemampuan kognitif dan berpikir ilmiah, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kritis, tanggung jawab sosial, dan kepedulian ekologis.
Perspektif humanisme dalam filsafat pendidikan berangkat dari keyakinan bahwa setiap manusia merupakan makhluk unik yang memiliki potensi, kebebasan berpikir, dan kemampuan untuk berkembang secara utuh. Orientasi aliran ini tidak sekadar menekankan kemampuan intelektual, tetapi juga pertumbuhan kepribadian yang menyeluruh melalui pengalaman belajar yang personal, partisipatif, dan bermakna. Kehadiran AI seharusnya tidak dimaknai sebagai pengganti peran pendidik atau relasi antarmanusia, melainkan sebagai pendukung proses pembelajaran yang lebih adaptif, terbuka, dan memperhatikan keberagaman potensi individu. Dalam konteks pembelajaran IPA, Â AI dapat dimanfaatkan untuk menyajikan simulasi interaktif tentang perubahan iklim, keanekaragaman hayati, atau dinamika ekosistem sehingga peserta didik dapat memahami keterkaitan antara aktivitas manusia dan keseimbangan alam. Guru berperan membimbing peserta didik untuk tidak hanya memahami fenomena ilmiah, tetapi juga merenungkan implikasinya. Dengan demikian, pembelajaran IPA tidak sekadar menjadi proses memperoleh pengetahuan, melainkan juga sarana membentuk kesadaran kemanusiaan dan tanggung jawab terhadap kelestarian bumi.
Perspektif eksistensialisme menegaskan pentingnya kebebasan dan tanggung jawab sebagai inti dari proses pendidikan. Setiap peserta didik perlu diperlakukan sebagai pribadi yang unik, yang memiliki ruang untuk memilih dan menentukan arah belajarnya sendiri, bukan sekadar mengikuti rekomendasi algoritma. Pemanfaatan AI seharusnya tidak dimaknai sebagai pengganti peran guru, melainkan sebagai pendamping yang memperkaya proses berpikir dan menumbuhkan kesadaran reflektif dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran IPA, guru dapat membimbing peserta didik untuk menelusuri secara mendalam bagaimana perkembangan teknologi memengaruhi keberlanjutan lingkungan kemudian peserta dapat memilih topik observasi yang diminati. Pendekatan ini tidak hanya memperluas pemahaman ilmiah, tetapi juga menumbuhkan kepekaan terhadap tanggung jawab ekologis sebagai bagian dari kehidupan bersama.
Refleksi
Mendidik di era AI berarti menghadapi dilema antara efisiensi dan kemanusiaan. Teknologi mampu mempercepat proses belajar, tetapi hanya manusia yang mampu memberi arah, makna, dan nilai. Martabat manusia tidak terletak pada seberapa cepat ia memahami informasi, melainkan pada kemampuannya memberi nilai pada pengetahuan itu.