Mohon tunggu...
Agustanto Imam Suprayoghie
Agustanto Imam Suprayoghie Mohon Tunggu... Administrasi - Konsultan Komunikasi di Republik Ini

berusaha mendisiplinkan diri, dengan menjadi diri sendiri, bersikap lebih baik, selalu memandang bahwa tidak ada sebuah kelebihan tanpa kekurangan, dan tidak ada kesempurnaan tanpa kesalahan, masa depan adalah tantangan, dan itu harus ditaklukkan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kekuatan

18 Juni 2020   01:07 Diperbarui: 18 Juni 2020   01:05 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dipta. Diptasena panjangnya. lahir tanpa ayah, ditengah belantara ibukota. Tiga belas tahun usia sekarang. Dipta menapaki kehidupan dengan nenek kakeknya. Ibunya entah dimana berada. Tepat diusia ke lima, Ibu pamit pergi. baik-baik perginya. Kakek-nenek merestui pergi Ibu. Mencari takdirnya. 

Ibu meninggalkan kain lurik dengan udeng batik motif kencana. Luriknya bermotif biasa, sama seperti lurik kesayangan kakek nenek. Iya, kakek nenek Dipta mempunyai Lurik dan udeng yang dipasang dalam pigura di kamar. Nantinya baru Dipta akan paham, kenapa lurik begitu sederhana, jadi barang kebanggaan kakek nenek.

Rumah bagi Dipta adalah istana. Dirumah, Dipta menjadi manusia sesungguhnya. Manusia yang dibutuhkan. minimal, bagi kakek dan neneknya. Dirumah, Dipta mampu menjadi anak yang bisa diandalkan. Anak yang tidak dinilai dari besar uang saku yang diberikan orang tua, tidak dinilai dari kendaraan jemputan yang tiap pulang sekolah berjajar menunggu para puan dan tuan kecil keluar dari sekolah. 

Dipta tidak seperti itu. Uang saku itu kemalasan. Kendaraan itu sesuatu yang membosankan. Dipta tidak superti itu. Dipta cukup dengan sarapan dan bekal singkong mampu membuatnya fokus belajar hingga bel sekolah tanda pulang berkumandang. Dipta cukup dengan kakinya, berjalan kurang lebih setengah jam membelah belantara ibukota untuk pergi dan pulang ke sekolah.

Dipta yang hari ini genap tiga belas tahun usianya, remaja biasa yang hobinya membaca. Dipta berkacamata. Dari kelas tiga. minus pertama yang dipakainya, minus tiga. Ini gara-gara komik Deni manusia Ikan, Storm dan Tarigan yang kerap jadi kawan dalam gelap Dipta saat hendak tidur.

Cukuplah kacamata itu sebagai tanda, kalau Dipta suka membaca. "Suka membaca itu anugrah le. Dengan membaca, kau akan mudah menaklukkan dunia, memecahkan masalah dan mencari solusi atas seluruh hal yang terjadi di kehidupanmu nanti." Kakek bertutur. Dipta mengiyakan. Sama seperti saat koleksi buku tua kakek yang tidak ada debu sama sekali dirumah Dipta. Sering dibersihkan, dan sering dibaca. 

Dipta. Diulangtahunnya yang ketiga belas, sudah diwanti-wanti untuk tidak kemana-mana. Alasannya yang sampai sekarang Dipta tak pernah tau mengapa. Kata Kakek. Itu usia pertanda. Pertanda bahwa diusiamu ketiga belas, akan datang para sahabat kakek dan nenek ke rumah. 

Sebuah peranan sederhana? Dipta tidak tahu. Yang jetas, pagi itu, saat mata Dipta terbangun oleh suara lantunan tembang jawa nenek, Dipta melihat lurik kebanggan kakek diturunkan dari piguranya. 

Dipta juga melihat lurik dan udeng yang dulu ditinggalkan oleh Ibunya, nampak tertata rapi di meja.. Denna secarik kertas, dilihatnya ada pesan diana."Le, ini sekarang sah menjadi milikmu. Jangan lupa pakai ini saat nanti kawan-kawan nenek datang ya."

Dipta senyum. Beranjak dari ranjang tidurnya, Dipta melirik ke weker tua yang nangkring di meja belajarnya. Yess.Hari ini slang tahunku ke tiga belas. Dika belum tahu. Bahwa sebentar lagi. babak baru dalam kehidupannya akan segera dimulai. (bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun