Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mensyukuri Nikmat atau Menikmati Syukur?

3 Februari 2019   15:46 Diperbarui: 2 Juli 2021   14:57 2608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:www.masterkoepink.com

Fakta menunjukan bahwa banyak orang tidak mampu membedakannya dan cenderung menganggap sama makna dari 'menikmati syukur dan menyukuri nikmat', yaitu menganggap sama-sama mensyukuri nikmat. Ini terjadi karena sangat sulit atau tidak tahu cara menikmati rasa syukur tersebut, yang mana baru akan muncul setelah kenikmatan itu hadir dirasakan.

Apalagi, kenikmatan tidak selalu hadir. Bahkan situasi buruklah yang lebih sering menimpa. Akibatnya banyak orang yang merasakan kesedihan dan keterpurukan dibanding perasaan syukur. Jadi, sangat wajar bagi mereka yang rasa syukur masih belum rutin dijalankan, belum mampu menikmati rasa syukur itu sendiri.

Akan tetapi, sejatinya kemampuan untuk menikmati syukur mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi, meski sangat sulit untuk dilakukan. Memang, akan sangat mudah bersyukur di saat senang, tapi sangat susah bersyukur di tengah-tengah kondisi yang sedang terpuruk. Yang ada bukan perasaan bersyukur, tapi rasa sedih, marah, iri dan sejenisnya.

Namun, itulah yang harus dilalui untuk mendapatkan pengetahuan dan kemampuan baru, yaitu 'menikmati rasa syukur'. Orang akan bisa menikmati syukur jika telah mengalami banyak rasa syukur dari berbagai kondisi yang ada. Saat kondisi sedang baik ataupun sedang buruk dan menderita, rasa syukur harus terus digulirkan.

Seperti artikel saya sebelumnya (Pengetahuan Agama, Sains dan Humanisme), perasaan menikmati sang syukur bisa didapatkan dengan menerapkan pengetahuan humanisme, yaitu dengan mengedepankan pengalaman dan sensitifitas.

Dicontohkan bahwa saat pertama kali minum kopi pahit tanpa gula. Akan sulit sekali mendapatkan dan menikmati kopi pahit tersebut. Namun, dengan ketekunan meminum kopi pahit setiap hari, dan dengan memberikan perhatian pada sensasi rasa kopi pahit tersebut, maka tidak dalam waktu lama, minum kopi pahit akan terasa nikmat.

Begitu juga dengan bersyukur. Jika dijalani terus menerus tanpa memperhitungkan kondisi yang sedang baik atau buruk, dan dengan tulus memberi perhatian pada setiap sensasi rasa syukur tersebut, maka tidak butuh waktu lama juga, akan bisa dinikmati perasaan syukur itu.

Baca juga: Tuhan Alam Semesta atau Alam Semesta itu Tuhan?

Orang yang sudah mampu menikmati rasa syukur, maka dia akan selalu bersyukur setiap saat, tanpa peduli dengan keadaan yang terjadi. Selama masih hidup, rasa syukur yang akan selalu terucap, karena itu memberi kenikmatan tersendiri. Orang yang selalu bersyukur akan hidupnya dan segala yang terjadi padanya, akan mampu menemukan sang syukur itu sendiri. Dia akan menikmati perasaan syukur dengan menggauli sang pemberi nikmat itu sendiri.

Jadi, bersyukur karena nikmat itu baik, tapi masih rata-rata. Menikmati syukur, itu baru luar biasa, karena akan mampu menyembuhkan secara cepat segala luka, yaitu iri, sedih, kecewa, dan marah, untuk kemudian menggantinya dengan kedamaian, ketenangan, kebahagiaan dan sukacita, di tengah-tengah badai kehidupan yang tidak menentu ini. Sekian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun