Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Keputusan Politik demi Pragmatisme Sempit

11 Agustus 2018   12:34 Diperbarui: 11 Agustus 2018   12:58 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:corinnerogero.com

Menurut penulis, Yusril hanya bertindak pragmatis saja demi kepentingan partainya. Dia akan bersikap netral pada pilpres kali ini, karena dengan Prabowo menolak hasil itjima ulama 212, maka sudah tidak ada alasan untuk mendukungnya.

Yusril saat ini hanya akan fokus di pileg dengan mengkapitalisasi secara maksimal suara dari para pemilih yang 'rindu khilafah' tersebut, untuk kemudian mengejar mimpinya menjadi orang nomer satu negeri ini.

*****

Begitu juga dengan Megawati saat mengajukan Jokowi sebagai capres pada tahun 2014 lalu. Pertimbangan pragmatis yang diambil. Dia sadar, bahwa akan sulit untuk menang melawan Prabowo yang sangat kuat saat itu. Selain itu, adanya dorongan dari banyak pihak, baik internal partai maupun luar untuk memilih Jokowi sebagai capres.

Akhirnya, setelah yakin bahwa Jokowi bakalan tetap 'manut' jika terpilih sebagai presiden, maka Megawati pun bersedia hanya sebagai Queen maker saja dan 'mengutus' Jokowi untuk maju sebagai capres. Hasilnya, meski harus tetap 'manut' pada sang Ibu, Jokowi adalah presiden yang cukup berhasil membangun negeri ini dibanding para pendahulunya.

Sementara Jokowi sendiri dalam menentukan KH. Ma'aruf Amin sebagai cawapresnya juga hanya pragmatisme sempit sebagai pertimbangan.  Akibat tekanan sebagian elite partai pendukungnya, terutama PKB dan PPP yang mendapat support dari PB NU, membuat Jokowi mencoret Mahfud MD dan menggantinya dengan KH. Ma'aruf Amin sebagai cawapres.

Jokowi, yang ingin menjaga kekompakan partai-partai pendukungnya, terpaksa memPHP Mahfud MD pada detik-detik menjelang deklarasi, dan membiarkannya kaget sendirian dengan baju putih barunya. Mahfud MD, yang menurut Jokowi sendiri dan banyak orang waras adalah sosok yang pas buat mewujudkan nawacita demi kebaikan negeri, tergeser karena pertimbangan pragmatis sempit individu elite partai.

Begitu juga PB Nahdlatul Ulama. Dengan pertimbangan pragmatis kepentingan organisasi, 'terpaksa' harus menyangkal bahwa Mahfud MD adalah kader mereka. Sebagai alternatif, menganjurkan KH Ma'aruf Amin sebagai cawapres kepada Jokowi jika ingin mendapat dukungan secara maksimal dari NU.

Cak Imin dan M Romahurmuziy juga sama saja. Dengan pertimbangan pragmatis sempit untuk kepentingan diri sendiri, maka Mahmud MD harus dicoret, agar kans mereka di tahun 2024 tetap ada, tidak tertutup oleh keberadaan Mahfud MD.

Kalau dilihat secara jernih, sebenarnya Mahfud MD adalah warga NU tulen. Dia punya kapasitas intelektual dan integritas yang sangat baik, serta diterima secara luas oleh banyak kalangan. Hal ini bisa menjadi entry point bagi NU dan Islam Nusantara pada umumnya, yang punya kans besar untuk mengambil alih kepemimpinan nasional pada tahun 2024  melalui Mahfud MD sebagai capres.

Namun karena hanya pertimbangan pragmatisme sempit, maka kesempatan seperti era Gus Dur harus terkubur. Pada tahun 2024 nanti para tokoh NU harus bersaing dengan tokoh lainnya pada posisi start yang relatif sama kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun