Mohon tunggu...
agus suryadi
agus suryadi Mohon Tunggu... Pengajar/Guru SD -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Toga untuk Ayah

12 Oktober 2018   00:07 Diperbarui: 12 Oktober 2018   01:28 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TOGA UNTUK AYAH

Mobil terus melaju di jalur cepat. Jam menunjukan pukul empat pagi, sebentar lagi memasuki waktu subuh. Dingin mengelus kulit. Jaket yang aku kenakan untuk membungkus kebaya yang melekat ditubuh, tidak sanggup menahan gempuran hawa.

Di luar jendela, cahaya kelip lampu mobil yang melaju di kiri dan kanan terlihat jelas. Hampir dua jam perjalanan yang aku lalui. Persiapan yang cukup melelahkan, sebentar lagi mungkin akan terbayar.

Beberapa anggota keluarga ikut dalam rombongan mobil sewaan yang aku tumpangi. Walaupun tanpa kehadiran Ayah. Ya, Ayah, orang yang paling berjasa dalam mewujudkan mimpi. Dua hari yang lalu tepat seratus hari Ayah meninggal dunia karena sakit. Jika saja Ayah masih ada, mungkin kebahagiaan ini akan semakin lengkap.

Bersandar dipundak, ibu terpejam.

Wajah tuanya begitu tampak. Lelah yang ia simpan selama ini telah mencipta gurat di wajah. Tapi senyum tulus selalu menghiasi. Kasih sayang yang ia berikan tidak akan terbayar dengan apapun. Ketabahan yang ia tunjukkan begitu membuat aku terharu. Dialah panutan bagi masa depan.

Kami bukan dari keluarga kaya raya. Almarhum Ayah hanya sebagai penarik becak. Sedang ibu, dengan penuh keikhlasan membantu Ayah mencari nafkah dengan berjualan kue. Aku? Aku adalah anak tunggal mereka, yang mereka banggakan dan selalu mereka doakan disetiap waktu dan kesempatan. Mereka selalu menyayangiku sepenuh kalbu dan segenap hati. Dalam bisiknya menjelang tidur "Jadilah anak kebanggan Ayah dan Ibu. Jadilah anak yang Solehah, pintar dan selalu sehat," setelah itu mereka mengecup kening dan pipi.

Betapa lelah mereka mengumpulkan uang. Menyisihkan rupiah demi rupiah dari sisa kebutuhan sehari-hari hanya untuk pendidikan dan masa depanku, agar aku menjadi orang yang berilmu tinggi dan bisa mengangkat derajat keluarga. Lelah mereka begitu berharga, karena itulah aku begitu bersemangat dalam mewujudkan mimpi mereka.

Lelah mereka adalah pemacu dalam belajar. Karena itulah, nilai-nilai yang aku dapat semenjak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas tidak pernah mengecewakan mereka berdua. Prestasi demi prestasi aku raih dari mulai tingkat Kecamatan hingga tingkat Nasional. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membalas lelah dan ketulusan mereka.

Hingga akhirnya aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke Universitas Negeri favorit, semua berkat doa dan dorongan semangat dari kedua orang tua yang sangat aku sayangi.

Selama kuliah, apa pun aku kerjakan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terduga.  Tapi untunglah, aku mempunyai banyak teman yang baik. Mereka selalu mendukung apapun yang aku lakukan. Karena mereka tahu betul keadaan ekonomi dan keluargaku. Begitu pun dengan pihak kampus, sangat baik. Mungkin karena prestasi yang aku raih selalu di atas rata-rata, karena itulah hampir semuan biaya kuliah dibantu oleh pihak kampus. "Subhanallah ...." aku sungguh bersyukur. Malah terakhir aku mendapatkan tawaran untuk menjadi Dosen di tempat  kuliah. Sungguh ini di luar batas mimpi! Tentu saja tawaran ini aku terima dengan penuh suka cita.

Kembali berkelebat bayangan Ayah di kelopak mataku, senyumnya begitu sumringah!  Aku percaya jika beliau ikut serta dalam rombongan pagi ini. walau dalam wujud yang kasat mata. Ayah ingin menjadi bagian dari kebahagiaan hari ini. " Ayah I love You!"

Memandang wajah ibu dari samping. Mata dengan kerutan di sekeliling ibu begitu jelas. Raut kesedihan masih tersisa. Aku yakin, kesedihan karena kepergian Ayah telah membuatnya terguncang. Mimpi-mimpi yang telah ia rajut bersama belahan jiwanya mungkin sebagian telah pupus.

Pernah ia bercerita ingin mengapit aku, berfoto dalam satu bingkai dengan pakaian Wisuda yang aku pakai. Ayah, aku dan Ibu. Tepat di tengah mereka dengan pelukan hangat dan penuh kebanggaan. Tapi mungkin ini tidak mungkin terwujud. Selalu saja air mata ini tumpah membasahi pipi jika mengingat ketulusan mereka. Apalagi saat ini, di mana aku akan naik ke atas paggung, memakai toga dan mendapat penghargaan sebagai Mahasiswi dengan nilai IPK tertinggi!

"Huff" aku menarik nafas panjang.

"Ayah, aku tahu Ayah sangat bangga dengan keberhasilanku selama ini, tapi aku lebih bangga lagi mempunyai kedua orang tua yang sangat mencintaiku dengan segenap jiwa. Tidak ada yang bisa menggantikan ketulusan yang kalian berikan untukku," aku memandang wajah Ibu. Mengelusnya dan perlahan bibirku mencium pipi tirusnya.

Mobil yang aku tumpangi mulai sepi. Semua terlelap. Hanya Pak Sopir yang masih berkonsentrasi memegang kemudi.

"Masih jauh, Pak?" tanyaku.

"Masih, Neng. Tapi sebentar lagi kita akan terjebak macet di pintu Tol. Makanya kita berangkat lewat tengah malam. Untuk menghindari macet di Jalan Kota, supaya sampai tepat waktu ditempat wisuda," Pak Sopir tersenyum.

"Betul, Pak. Banyak kendaraan yang akan parkir di tempat Wisuda. Berangkat lewat tengah malam adalah waktu yang tepat," aku tertawa kecil.

Setelah itu suasana sepi. Aku memejamkan mata. Mencoba merangkai kembali kisah-kisah yang penuh dengan pengharapan. Mimpi yang sebentar lagi menjadi kenyataan tentang anak penarik beca dan penjual kue, tentang hal yang tidak pernah mustahil.

"Ini semua untuk alian berdua," aku berbisik di daun telinga Ibu.

Rdk-akhir Juni

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun