“Idealisme dalam Pendidikan: Mimpi Mulia atau Tantangan Realitas?”
Seorang guru IPA di sekolah menengah membuka kelas dengan ungkapan sederhana:
“Pengetahuan itu penting, tapi karakter, cita, dan makna hidup jauh lebih penting daripada sekadar angka di rapor.”
Fenomena ini bukan sekadar retorika pendidikan ideal. Di banyak sekolah di Indonesia, guru dan siswa masih terjebak dalam rutinitas “mengajar untuk ujian”, sedangkan aspek nilai, cita, hati nurani sering diabaikan. Sistem pendidikan menuntut efisiensi dan hasil, sehingga pendidikan semakin kehilangan ruang untuk idealisme, visi besar bahwa setiap siswa bisa menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya pintar secara akademik.
Pada saat yang sama, dunia pendidikan menghadapi tantangan baru: globalisasi, kemajuan teknologi, krisis sosial dan etika, serta kerusakan lingkungan. Di tengah arus pragmatisme, pertanyaan akan posisi idealisme dalam pendidikan menjadi semakin mendesak: apakah idealisme hanya mimpi masa lalu yang tidak relevan, ataukah bisa memberi landasan nilai untuk pendidikan masa depan?
Untuk menjawab itu, kita perlu memeriksa: apa arti idealisme dalam konteks pendidikan modern; bagaimana ide-ide idealis bisa diterapkan secara nyata; dan apa konsekuensi ketika pendidikan kehilangan idealisme. Dalam artikel ini, saya akan menyajikan pemikiran kritis mengenai konsep idealisme dalam pendidikan, implikasinya dalam praktik, serta tantangan dan jalan tengah agar pendidikan tidak hanya bergantung pada angka, tetapi juga mengejar kemanusiaan sejati.
Dalam setiap periode sejarah pendidikan, selalu muncul pertanyaan fundamental tentang arah dan tujuan pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan hanya sarana menyiapkan tenaga kerja, ataukah sebuah upaya luhur untuk membentuk manusia yang bermakna? Di tengah realitas pendidikan modern yang serba pragmatis, idealisme muncul sebagai panggilan moral agar pendidikan tidak kehilangan jiwanya.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat menekankan hasil kognitif dan penguasaan kompetensi teknis. Siswa sering kali diukur berdasarkan nilai ujian, bukan berdasarkan kematangan berpikir, moral, maupun spiritual. Akibatnya, sekolah menjadi tempat transfer informasi, bukan ruang pembentukan karakter. Sebagaimana dikemukakan oleh Nurmalina dan Wahab (2024) dalam artikelnya Filsafat Idealisme dalam Pendidikan, orientasi pendidikan yang berlebihan pada hasil justru melahirkan generasi yang pintar secara teknis tetapi miskin refleksi moral.
Selain itu, sistem pendidikan kita cenderung terperangkap pada orientasi jangka pendek. Kebijakan sering berubah mengikuti arah politik, sementara guru dan siswa menjadi pelaksana tanpa ruang refleksi filosofis. Studi oleh Krisdiana dan rekan-rekan (2022) dalam Implementasi Filsafat Pendidikan Idealisme di Sekolah Dasar menyoroti bahwa guru sering kali memahami pembelajaran sebatas penyampaian materi, bukan pembentukan nilai. Padahal, idealisme menempatkan nilai dan akal budi sebagai inti dari pendidikan itu sendiri.
Di sisi lain, tantangan globalisasi dan revolusi industri 4.0 menuntut pendidikan menjadi lebih kompetitif, efisien, dan berorientasi pasar. Akibatnya, pendidikan semakin menjauh dari nilai-nilai ideal dan moral yang menjadi dasar lahirnya manusia berbudaya. Artikel Implikasi Filsafat Pendidikan Aliran Idealisme pada Pendidikan Modern dalam Jurnal Humaniora (2021) menegaskan bahwa pergeseran orientasi pendidikan menuju pragmatisme telah mengikis dimensi kemanusiaan dan spiritualitas peserta didik.
Namun, idealisme tidak boleh diartikan sebagai penolakan terhadap realitas. Justru, idealisme hadir untuk menuntun praktik pendidikan agar tetap berpijak pada cita-cita luhur manusia. Ia menjadi penyeimbang antara rasionalitas dan spiritualitas, antara hasil dan proses, antara kemampuan berpikir dan kemampuan menjadi manusia yang beradab.