Mohon tunggu...
Agus Suarbawa
Agus Suarbawa Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha

Gemar membaca buku, membaca situasi politik, mengkritisi suatu hal yang tidak sejalan dengan aturan. Tertarik pada dunia pendidikan, mengembangkan suatu inovasi bagi pendidikan, baik dalam bentuk media pembelajaran ataupun pendekatan. Kritik sejatinya bukan menentang tetapi menantang agar suatu sistem berjalan lebih baik dari sebelumnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Menghidupkan Kembali Tri Hita Karana: Dari Arsitektur Bali hingga Pendidikan SMA yang Berkarakter"

5 Oktober 2025   16:34 Diperbarui: 5 Oktober 2025   16:34 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Pikiran Tri Hita Karana sebagai Jalan Hidup, Ruang, dan Pendidikan SMA di Abad ke-21 (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

“Bukan Sekadar Kearifan Lokal 🌿: Tri Hita Karana sebagai Jalan Hidup, Ruang, dan Pendidikan SMA di Abad ke-21”

Pagi di sebuah sekolah menengah atas di Bali selalu dimulai dengan ritme khas: suara gamelan latihan seni mengalun lembut di aula, para siswa mengenakan seragam rapi sambil menata canang sari di pelinggih kecil di pojok sekolah. Udara pagi bercampur wangi dupa, dan dalam keheningan yang sederhana itu, harmoni seolah menjadi bagian dari napas kehidupan. Tetapi harmoni itu tidak selalu utuh. Di tengah ritual harian yang sarat makna spiritual, ada kenyataan lain yang sering luput: tekanan akademik yang tinggi, persaingan nilai, dan rutinitas yang membuat banyak siswa kehilangan ruang untuk mengenal diri, sesama, dan lingkungan sekitarnya. Di sinilah nilai Tri Hita Karana (THK) menemukan relevansinya, bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi sebagai filosofi hidup yang perlu dihidupkan kembali di tengah krisis keseimbangan modern (Asih, 2022).

Konsep THK sesungguhnya menawarkan arah bagi manusia modern untuk hidup secara utuh: beriman kepada Tuhan (parahyangan), menjalin relasi sosial yang harmonis (pawongan), dan menjaga kelestarian alam (palemahan). Dalam pandangan pendidikan, ketiga pilar ini membentuk dasar pendidikan karakter ekologis dan spiritual, sesuatu yang semakin mendesak ketika dunia pendidikan terlalu berfokus pada kompetisi kognitif, bukan kesadaran moral dan lingkungan.

Filosofi ini tidak hanya hidup dalam ritual atau ajaran agama Hindu, tetapi juga mengalir dalam sistem arsitektur, tata ruang, hingga budaya masyarakat Bali. Setiap rumah tradisional, pura, dan pekarangan dirancang untuk mencerminkan harmoni antara manusia dan alam. Namun dalam arus modernisasi, banyak bangunan, termasuk sekolah yang kini kehilangan arah filosofis itu. Arsitektur yang seharusnya memfasilitasi keseimbangan spiritual dan ekologis justru menjadi simbol industrialisasi pendidikan: tembok tinggi, ruang tertutup, dan taman yang hilang diganti tempat parkir.

Di sekolah-sekolah SMA, fenomena ini semakin jelas. Kurikulum berbasis capaian akademik sering kali mengabaikan ruang batin siswa. Padahal, masa remaja merupakan fase kritis pembentukan karakter, kesadaran sosial, dan tanggung jawab ekologis. Ketika ruang belajar dipersempit hanya menjadi arena ujian dan kompetisi, nilai-nilai Tri Hita Karana kehilangan bentuk nyatanya. Beberapa sekolah mencoba membangkitkan kembali filosofi ini, seperti dengan program e-learning berbasis nilai THK di Denpasar atau kegiatan gotong royong berlandaskan pawongan dan palemahan di sekolah-sekolah Lembongan. Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa meskipun terdesak arus globalisasi, semangat untuk menjaga harmoni masih hidup (Wijaya, 2022).

Namun, apakah penerapan Tri Hita Karana di sekolah-sekolah SMA benar-benar membentuk siswa yang utuh secara spiritual, sosial, dan ekologis? Ataukah nilai-nilai itu hanya berhenti sebagai slogan budaya tanpa makna dalam perilaku dan tata ruang kehidupan pendidikan kita? Inilah pertanyaan yang akan menjadi titik tolak pembahasan lebih dalam tentang bagaimana Tri Hita Karana dapat diimplementasikan secara nyata, tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga dalam struktur arsitektur, budaya sekolah, dan kesadaran hidup sehari-hari.

Krisis keseimbangan menjadi wajah nyata dari kehidupan modern saat ini. Di tengah kemajuan teknologi, globalisasi ekonomi, dan kompetisi akademik yang semakin ketat, manusia perlahan kehilangan keseimbangan dengan dirinya, sesama, dan alam semesta. Pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang penyadaran, justru sering terjebak dalam logika industrial, menghasilkan individu berpengetahuan, tetapi miskin kepekaan sosial dan ekologis. Fenomena inilah yang menjadi tantangan besar dunia pendidikan di Indonesia, terutama di Bali, di mana nilai-nilai Tri Hita Karana (THK) telah lama menjadi dasar moral masyarakat.

THK sejatinya adalah fondasi filosofis yang mengatur tiga dimensi hubungan manusia: dengan Tuhan (parahyangan), dengan sesama (pawongan), dan dengan alam (palemahan). Ketiga aspek ini membentuk sistem harmoni yang saling menopang dan menjadi arah moral dalam berpikir dan bertindak. Namun dalam praktik kehidupan kontemporer, harmoni itu mulai retak. Aktivitas ekonomi dan pendidikan sering kali hanya menitikberatkan pada produktivitas, sementara relasi spiritual dan ekologis dipinggirkan. Padahal, filosofi THK mengajarkan bahwa tanpa keseimbangan antara aspek spiritual, sosial, dan lingkungan, manusia tidak akan mencapai kebahagiaan sejati (Wijaya, 2022).

Dalam konteks pendidikan menengah atas (SMA), hal ini menjadi semakin penting. Masa remaja adalah periode pembentukan identitas moral dan sosial yang sangat rentan terhadap pengaruh budaya global. Penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan karakter berbasis THK di beberapa SMA di Bali masih menghadapi banyak hambatan, baik dari sisi kurikulum maupun praktik keseharian. Misalnya, di SMAN Satu Atap Lembongan, sebagian siswa masih menunjukkan perilaku individualistik dan kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena implementasi nilai pawongan dan palemahan belum terintegrasi secara optimal dalam sistem pembelajaran maupun budaya sekolah (Asih, 2022).

Selain dalam aspek pendidikan, krisis harmoni juga terlihat dari sisi arsitektur dan tata ruang sekolah. Sekolah-sekolah modern kini cenderung dibangun dengan paradigma efisiensi dan estetika global, tanpa mempertimbangkan filosofi ruang yang sarat makna spiritual seperti yang diajarkan oleh THK. Padahal, tata ruang tradisional Bali memiliki konsep yang jelas: orientasi bangunan harus seimbang antara arah suci (kaja-kangin) dan profan (kelod-kauh), dengan ruang terbuka hijau yang memfasilitasi hubungan manusia dengan alam. Ketika prinsip-prinsip ini diabaikan, ruang belajar kehilangan makna transendentalnya, ia tidak lagi menjadi tempat membentuk kesadaran, tetapi hanya wadah transfer informasi (Luqiana, 2024).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun