Tri Hita Karana, Kebahagiaan, dan Lingkungan: Refleksi Kritis Komunitas Sambangan, Singaraja.
Bali sering disebut “Pulau Surga” karena keindahan alam dan kekayaan budayanya. Namun di balik citra tersebut, ada filosofi mendalam yang selama berabad-abad menjadi fondasi harmoni masyarakat, yaitu Tri Hita Karana. Falsafah ini menekankan tiga hubungan utama: dengan Tuhan (Parhyangan), sesama manusia (Pawongan), dan lingkungan (Palemahan). Nilai ini bukan sekadar tradisi spiritual, melainkan panduan hidup yang relevan hingga kini, terutama ketika masyarakat dihadapkan pada isu lingkungan, pariwisata massal, dan krisis ekologi global (Ahzan et al., 2024).
Salah satu desa yang masih menjaga kearifan lokal tersebut adalah Sambangan di Singaraja, Buleleng. Desa ini terkenal dengan air terjun Aling-Aling, persawahan hijau, dan hutan yang menjadi destinasi wisata. Masyarakat lokal memadukan ritual adat, gotong royong, dan pelestarian alam dalam kehidupan sehari-hari (Hermawan et al., 2022). Namun, pertanyaannya: apakah filosofi Tri Hita Karana sungguh menjadi pedoman praktis dalam menghadapi tekanan modernitas, ataukah hanya menjadi simbol budaya yang kerap dikomersialisasi?
Tulisan ini mencoba mengulas secara kritis dasar-dasar Tri Hita Karana, kaitannya dengan konsep kebahagiaan dan harmoni, serta kondisi lingkungan di Sambangan. Dengan begitu, kita bisa menilai sejauh mana filosofi ini tetap hidup di tengah masyarakat, sekaligus tantangan yang mereka hadapi untuk menjaga keseimbangan tersebut.
Urgensi membahas Tri Hita Karana semakin nyata di tengah perubahan sosial, ekonomi, dan ekologis. Banyak penelitian menekankan bahwa ketika ketiga pilar Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan dijaga seimbang, maka masyarakat dapat mencapai kebahagiaan yang bersifat holistik (Arjaya et al., 2021). Namun kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Tekanan pariwisata massal, alih fungsi lahan, dan masalah sampah kerap mengganggu harmoni ekologis desa-desa di Bali, termasuk Sambangan (Widiastuti et al., 2023).
Desa Sambangan memiliki daya tarik wisata berbasis alam yang terus berkembang. Masyarakat terlibat aktif dalam menjaga kebersihan air terjun, sawah, dan hutan melalui gotong royong serta regulasi adat (Putu et al., 2021). Namun, tidak semua aspek berjalan ideal. Studi terbaru menunjukkan bahwa manfaat ekonomi dari wisata tidak selalu merata, sementara dampak ekologis mulai terasa, seperti peningkatan limbah plastik dan tekanan pada sumber air (Arimbawa & Suryawan, 2022).
Di sinilah muncul pertanyaan kritis: sejauh mana nilai Tri Hita Karana benar-benar terinternalisasi dalam kebijakan dan praktik di Sambangan? Apakah konsep kebahagiaan yang dicita-citakan tercapai ketika lingkungan mulai tertekan? Artikel ini hadir untuk menganalisis fenomena tersebut, sehingga pembaca dapat melihat Tri Hita Karana bukan hanya sebagai warisan budaya, melainkan juga sebagai kerangka etis dan praktis dalam menghadapi krisis keberlanjutan di tingkat komunitas.
A. Dasar-dasar Tri Hita Karana
Tri Hita Karana (THK) merupakan filosofi hidup masyarakat Bali yang menekankan keseimbangan antara Parhyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan (hubungan dengan sesama manusia), dan Palemahan (hubungan dengan alam). Filosofi ini berakar dari ajaran Hindu, khususnya konsep Tat Twam Asi yang menekankan kesatuan antar makhluk (Ahzan et al., 2024).