"Begini lho,Nduk. Simbok sering dengar orang bilang tentang emansipasi. Simbok sendiri tidak tahu secara pasti artinya. Katanya, itulah persamaan derajat antara pria dan wanita."
Mawar terus menyimak apa yang akan dikatakan Mbok Parti.
"Yang Simbok lihat, kok sekarang kebablasen ya?"
"Maksud Simbok?"
"Iya sekarang tak jarang justru kaum wanita bertindak kelewatan. Pekerjaan atau gaji yang lebih tinggi terkadang membuat mereka lupa. Bahkan beberapa di antaranya memandang rendah pada suaminya. Dan itu Simbok temukan pada beberapa tetangga di rumah," kata Mbok Parti panjang lebar.
Mawar mau menyahut omongan Mbok Parti. Namun ternyata Mbok Parti belum selesai dengan omongannya.
"Padahal, kalau wanita itu bekerja sifatnya kan membantu keuangan keluarga. Tugas utama pencari nafkah tetap suami."
"Mungkin saja karena mereka lebih mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga?" Kali ini Mawar bisa menyela omongan Mbok Parti.
"Nah, itulah Nduk pokok masalahnya. Kan bagaimanapun juga, suamilah kepala rumah tangga. Dalam agama pun diajarkan bahwa seorang istri harus patuh dan menghormati suami, sejauh dalam kebaikan."
Tanpa disadari, angan Mawar melayang jauh ke belakang. Peristiwa 15 tahun yang lalu masih membekas di benaknya. Saat itu ayah dan ibu bertengkar begitu hebatnya. Larangan ayah terhadap ibu untuk berhenti dari pekerjannya ditolak mentah-mentah. Bahkan ibu mengatakan, untung aku bekerja, kalau tidak mau makan apa keluarga ini.
Rupanya kata-kata itu yang membuat ayah naik pitam. Posisinya menjadi pegawai negeri saat itu memang tidak mungkin mendapatkan hasil yang banyak. Sementara karir ibu di sebuah perusahaan swasta begitu bagus. Dan pada puncaknya, ibu akan dipromosikan ke sebuah cabang di luar kota.