Mohon tunggu...
Agus Netral
Agus Netral Mohon Tunggu... Administrasi - Kemajuan berasal dari ide dan gagasan

Peneliti pada YP2SD - NTB. Menulis isu kependudukan, kemiskinan, pengangguran, pariwisata dan budaya. Menyelesaikan studi di Fak. Ekonomi, Study Pembangunan Uni. Mataram HP; 081 918 401 900 https://www.kompasiana.com/agusnetral6407

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Ikhtiar Singapura dalam Meningkatkan Jumlah Kelahiran

13 Agustus 2020   09:55 Diperbarui: 21 Oktober 2020   07:59 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemudian provinsi yang TFR-nya sama dan dibawah rata-rata nasional yaitu TFR 2,4 adalah sebanyak 15 provinsi, dan sisanya 19 provinsi berada pada posisi TFR diatas 2,4.

Seluruh provinsi yang memiliki penduduk besar di pulau Jawa, memiliki TFR sama serta dibawah rata-rata nasional 2,4. Hanya satu provinsi yaitu Sumatra Utara yang memiliki penduduk besar (14,5 juta) masih berada pada TFR 2,9.

Ditargetkan pada 2025 yang akan datang (sebagaimana RPJP 2000 – 2025) Indonesia akan diupayakan untuk memiliki TFR 2,1. Sementara untuk 3 kali pelaksanaan SDKI berikutnya BPS sudah melakukan proyeksi besaran TFR yaitu pada SDKI 2022; 2,212, SDKI 2027; 2,096 dan SDKI 2035; 1,990.

Untuk prediksi yang jauh lagi, pada tahun 2019 publikasi dari United Nations, Population Division  yaitu World Population Prospects 2019 Indonesia diprediksi akan terus mengalami penurunan TFR. Periode 2045 - 2050 TFR Indonesia diprediksi sebesar 1,91 dengan jumlah penduduk 331 juta lalu untuk periode 2095 - 2100 TFR diproyeksi mencapai 1,78 dengan jumlah penduduk menurun menjadi 321 juta.

Sepertinya dibanding Singapura Indonesia akan mengalami penurunan TFR untuk jangka waktu yang sangat lama, kalau proyeksi itu mendekati kenyataan. Walaupun demikian Indonesia memiliki peluang untuk bisa mengalami seperti Singapura pada masa yang akan datang.

Ada sejumlah alasan untuk ini;

a. Harga-harga yang terus meningkat

Ini membuat orang ‘terpaksa’ untuk memiliki anak sedikit. Karena keadaan yang tidak memungkinkan. Sebagaimana pepatah di masyarakat suku Sasak di Lombok yang mengatakan; “Te ajah si penemu!”. Maksudnya, apa yang kita hadapi akan menjadi pelajaran bagi hidup ini.

Lihat saja keluarga di daerah perkotaan. Mereka sulit membeli lahan pekarangan yang 1 are karena harganya yang mahal untuk membangun rumah, serta biaya membangunnya yang juga mahal. Akhirnya dipilihlah rumah kecil bersubsidi yang bisa dikredit 15 tahun, dimana hanya ada 1 ruang tidur, dengan luas 0,7 are. Dengan fakta itu, maka hanya orang-orang nekat saja yang berani memiliki anak lebih dari 2.

Lalu di desa sama saja, harga lahan pekarangan terus bergerak naik dari tahun ke tahun termasuk biaya pembangunan rumahnya, sehingga keluarga miskin tak mampu menjangkaunya. Ini membuat keluarga tak mampu di desa juga berpikir dan mempertimbangkan dengan seksama anak yang akan dimilikinya.

Belum lagi bicara masalah biaya melahirkan, membesarkan dan biaya pendidikan si anak kelak. “Biaya pempes saja untuk popok si bayi, saya kewalahan. Apalagi susu!”, kata seorang rekan yang menjadi guru honorer.

Memang untuk biaya sekolah SD dan SMP Negeri, gratis, tapi belanja jajan setiap hari yang 5 ribu sampai 10 ribu, cukup berat bagi keluarga yang sekedar untuk bertahan hidup saja sudah sulit.

2. Impian untuk hidup yang berkualitas

Banyak orang sekarang ini sudah mengikuti trend di negara maju yaitu yang bosan hidup miskin, akhirnya berlomba lomba untuk meraih sukses utamanya dalam hal finansial. Adapun salah satu komponen yang cukup berpengaruh bagi hidup sukses dan berkualitas itu menurut orang adalah jumlah anak. Trend ini akan berpengaruh pada keputusan dalam menentukan jumlah anak yang akan dimiliki. Karena tambahan anak berarti tambahan beban dan biaya.

Di Indonesia trend itu juga juga terjadi, walaupun ada juga yang berpendapat sebaliknya, yaitu tidak membatasi jumlah anak yang dilahirkan, apapun resikonya.


Jadi melihat apa yang terjadi di Singapura dan banyak negara lainnya dengan TFR rendah, menunjukkan kebenaran dari pendapat Dr Karan Singh menteri Kesehatan India waktu itu. Ketika berbicara di Konfrensi Kependudukan Dunia di Bucharest tahun 1974, beliau mengatakan; “Development is the best contraceptive.” Pembangunan adalah kontrasepsi terbaik, dan cepat atau lambat Indonesia bagaimanapun juga akan mengikuti jejak Singapura, sejalan dengan kemajuan bangsa.@

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun