Mohon tunggu...
Manthono Agus
Manthono Agus Mohon Tunggu... -

Just another guy on the street

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Image Turis Indonesia: Norak, Kampungan dan Tidak Taat Aturan?

16 Mei 2014   23:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:27 3104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Yang saya khawatirkan dari kelakuan buruk turis Indonesia yang ke luar negeri adalah terbentuknya Image bahwa turis Indonesia itu kampungan, norak, dan tidak tahu tata tertib. Baru-baru ini saya backpacking ke Bangkok. Sebagai salah kota tujuan wisata international yang letaknya sangat dekat dengan Indonesia, rasanya kurang afdol jika sudah pernah kemana-mana tapi belum menyambangi Bangkok. Untuk liputan tentang pengalaman di Bangkoknya sendiri saya ulas di tulisan lain. Dalam tulisan ini saya ingin fokus ke tingkah laku turis Indonesia yang saya perhatikan selama di Bangkok. Kita semua tahu bahwa orang gampang sekali membuat stereotype. Hanya perlu beberapa gelintir turis saja yang berkelakuan tertentu yang mencolok dan khas, orang akan dengan mudah mengeneralisir bahwa semua orang dari negara tersebut berkelakuan begitu. Contohnya, turis Arab yang datang ke Indonesia stereotypenya adalah hidung belang dan mata keranjang. Tujuan utamanya adalah untuk kawin kontrak di Bogor dan sekitarnya. Kalau bawa keluarga, semua perempuannya akan dipakaikan burqa, sementara para lelakinya sangat dandy dengan baju dan shorts branded serta sepatu yang fancy. Mereka umumnya berisik dan pongah. Begitulah image orang Arab. Turis cina lain lagi, terkenal sangat berisik, suka main judi, suka makan besar dan minum-minum serta sangat jorok. Mereka meludah dimana-mana. Selalu bepergian berkelompok dan tidak peduli di pesawat atau di tempat sakral, mereka akan berbicara dengan suara keras. Walaupun ngobrol biasa kedengarannya seperti bertengkar. Begitu image turis cina. Turis India terkenal manipulatif dan 'cheap". Saya pernah ngobrol dengan supir taksi di Bali. Yang paling mereka takuti adalah turis India. Pernah beberapa orang supir taksi katanya dibohongi. Mereka menumpang tanpa bayar, dibilang suruh ambil duitnya di lobby hotel, tapi si tamu rupanya tidak pernah menginap di hotel yang dimaksud. Selain bau kari, katanya turis India kalau nawar tidak pakai perasaan. Gak mau rugi. Sementara itu, turis Australia di Bali terkenal norak dan tidak sopan. Umumnya turis redneck yang berasal dari kampung-kampung di Australia ini berisiknya minta ampun. Mereka tidak tahu tatakrama. Jalan di jalanan umum pake bikini atau kolor doang, sambil megang botol bir dan teriak-teriak ga jelas. Beberapa kali saya melihat cewek-ceweknya cuek top-less sunbathing di pantai-pantai umum yang ramai dikunjungi orang. Bahkan orang Australia yang berasal dari kota-kota besar seperti Sydney, Perth, atau Melbourne sendiri akan menghindari pergi ke Bali pada musim-musim liburan, karena tidak tahan dengan ulah orang mereka sendiri yang bikin malu.  "I can't stand my own people in Bali." kata seorang Bule Australia temen saya. "They are just obnoxious! Sorry about them.". Lalu bagaimana dengan image turis Indonesia di luar negeri? Saya belum tahu banyak. Tapi dari beberapa kali traveling dan bertemu orang Indonesia di luar, ada kecenderungan umum yang sering dilakukan oleh turis Indonesia, yang saya takut jangan-jangan nantinya akan membentuk stereotype yang kurang bagus. Sewaktu di Bangkok saya bertemu banyak sekali turis Indonesia. Saya tidak secara langsung berbicara dengan mereka, tapi memperhatikan saja. Saya tahu mereka orang Indonesia dari basahanya. Ada beberapa kelakuan umum yang bikin hati saya miris. Diantaranya adalah kampungan, norak, dan tidak bisa menaati peraturan. Meski memiliki akar budaya timur yang sama, orang Bangkok tampaknya lebih berbudaya dari orang Jakarta, terutama budaya antrinya. Contohnya saja, di Bangkok, penumpang yang akan keluar dari MRT atau subway didahulukan dan mereka mengambil lajur lurus di depan pintu, sementara orang yang akan masuk harus menunggu semua penumpang keluar, dan mengantri di kiri dan kanan pintu. [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Penumpang yang akan naik harus mengantri dari samping (tanda panah di gambar). source: http://bangkokscoop.com "][/caption] Saya beberapa kali melihat beberapa orang yang dengan santainya berdiri tepat di depan pintu, begitu dengar mereka ngobrol, eh rupanya orang Indonesia. Di beberapa tempat tujuan wisata saya perhatikan orang Indonesia noraknya minta ampun, terutama jika melihat sesuatu yang tidak lazim ada di negara kita. Misalnya, ketika berjalan-jalan di sepanjang trotoar di daerah Silom atau Skhukumvit akan banyak ditemukan di pinggir jalan orang berjualan sex toys dan obat kuat seperti viagra dan sebagainya. Ada juga yang menyajikan massage dengan masseurs cewek-cewek sexy (atau cowok) yang dijejerkan di pinggir jalan. Itu adalah pemandangan biasa di Bangkok. Orang Indonesia banyak yang nyeleneh, menertawai atau memain-mainkan barang jualan orang, pura-pura mau beli padahal main-main, bahkan ada beberapa yang berfoto-foto, sampai diusir oleh penjualnya. Di beberapa tempat wisata lain saya berkali-kali melihat orang Indonesia yang bertingkah seperti itu. Jika perempuan atau remaja, umumnya mereka akan lebih sibuk berfoto-foto daripada menikmati wisatanya sendiri. Banyak diantaranya dengan tanpa merasa berdosa buang sampah sembarangan. Pemandangan seperti ini juga terjadi pada saat saya boarding untuk pulang ke Indonesia. Satu gate tempat boarding saya saat itu dipenuhi oleh orang Indonesia. Banyak yang travel berkelompok, membawa semua keluarga, termasuk anak-anak yang luar biasa ributnya. Bawaannya sarat dengan kantong-kantong besar belanjaan serta kardus oleh-oleh, persis seperti orang pulang mudik. Anak-anak berteriak dan berlarian sana-sini tanpa merisaukan orang lain yang terganggu. Dimanapun mereka duduk, mereka meninggalkan sampah makanan, meskipun tempat sampah sudah tersedia dimana-mana. Yang sangat menyedihkan adalah ketika ada lima orang biksu (monks) tidak kebagian tempat duduk, tidak ada satupun yang berinisiatif memberikan tempat duduk. Padahal di Thailand mereka sangat diutamakan. Di tempat-tempat umum seperti boarding gate atau angkutan umum ada section-section yang diprioritaskan untuk monks, orang hamil dan penyandang cacat. hariitu, orang-orang yang duduk di kursi-kursi ini, entah tidak sadar atau memang tidak peduli, tidak sedikit pun tergerak hatinya untuk menaati aturan. Padahal di kursinya sudah jelas-jelas tertulis priority seats. [caption id="" align="aligncenter" width="243" caption="Priority Seats di Airport Bangkok Source: http://thusihaveseen.squarespace.com/"][/caption] Ketika gate dibuka, semua orang akan berhamburan berebut masuk. Persis seperti di kereta ekonomi di Jakarta. Walaupun pada akhirnya semua tertahan di pintu, karena rupanya penumpang dinaikkan ke pesawat berdasarkan nomor tempat duduknya. Saya yang tempat duduknya dibarisan 20-30 yang dipanggil masuk duluan harus bersusah payah menerobos kerumunan orang di depan pintu. Sungguh luar biasa. Di dalam pesawat pun tak kalah seru. Semua kabin penuh oleh bawaan orang indonesia. Yang terakhir masuk tidak kebagian space untuk menyimpan barang. Para pramugari sampai kewalahan menangani mereka. Ketika peasawat sudah lepas landas suasana belum juga bisa tenang. Anak-anak teriak-teriak tidak tahu sopan santun. Jangan dikata ketika makanan sudah disajikan, susana pesawat sudah kayak pasar Benhil di bulan puasa menjelang  azan magrib. Begitu pesawat mendarat, belum lagi lampu kabin dinyalakan, suara telepon genggam sudah ramai berbunyi. Sabuk pengaman sudah pada dilepas, meskipun pramugari masih mewanti-wanti untuk tetap tenang. Tepat ketika lampu menyala, semua orang sudah sigap berdiri, berebutan mengambil bagasi dari kabin, seolah-olah memang sedang ada kompetisi. Saya tidak mengerti mengapa semua orang begitu terburu-buru. mengapa harus berebutan. Tidak bisakah antri? Toh ketika turun juga harus satu-satu. Gelombang orang yang keluar pesawat rasanya seperti arus massa berebut sembako. Bahkan hingga ketika antri di imigrasi dimana antriannya sudah jelas dan jalurnya sudah ada maing-masing, masih ada saja orang yang nyelonong mengambil jalur orang lain. Innalillahi. Di tempat pengambilan bagasi juga pemandangannya tidak kalah mengenaskan. Semua orang dengan trolley masing-masing berebut berada paling dekat dengan belt. Padahal belum tentu bagasi dia yang keluar pertama. Orang yang berada dibelakang jangan harap dikasih jalan untuk mengambil bagasi dengan mudah. Bagi yang kopernya ditandai dengan kapur putih oleh petugas bandara untuk random check, tissu basah sudah disediakan untuk menghapusnya. Entah mengapa bagi orang Indonesia semua harus kompetitif dan bahkan tak jarang manipulatif. Tidak bisa menaati peraturan. Begitulah, orang-orang kita. Saya khawatir image seperti inilah yang kemudian akan menjadi stereotype bangsa kita di  mata bangsa lain nantinya. Mudah-mudahan tidak. Ini baru cerita ketika masih di dalam bandara. Begitu keluar, kita akan disambut oleh deretan sopir taksi gelap yang akan berusaha menipu dan memeras kantong kita. Mereka akan terus membuntuti kemana pun kita pergi walaupun kita sudah bilang tidak  berkali-kali. Kalau kita selamat dari mereka, selanjutnya kita akan menghadapi macetnya jalan pulang ke rumah. Siap-siaplah menghabiskan waktu di dalam taksi sambil berandai-andai kapan orang-orang kita bisa belajar dari negara lain.*** www.manthono.web.id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun