Mengapa Kuliner Jogja Identik dengan Manis: Jejak Sejarah dan Budaya di Setiap Suapan
Kalau berbicara tentang kuliner Yogyakarta, hampir semua orang langsung teringat pada gudeg. Makanan berbahan nangka muda ini begitu ikonik dengan rasanya yang legit dan manis. Tapi gudeg bukan satu-satunya. Bakpia, geplak, wedang ronde, hingga lauk seperti sambal goreng krecek juga tak lepas dari sentuhan rasa manis yang khas.
Bagi sebagian orang yang baru pertama kali mencoba, rasa manis ini bisa jadi "culture shock". Ada yang langsung jatuh cinta, tapi tak sedikit yang perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Hal ini sering memunculkan pertanyaan, mengapa kuliner Jogja sangat identik dengan rasa manis? Jawabannya ternyata berkaitan erat dengan sejarah, filosofi hidup, dan karakter masyarakatnya.
Sejarah: Dari Keraton ke Dapur Masyarakat
Sebelum menelurusi lebih lanjut jejak rasa manis ini, kita perlu menelusuri sejarahnya. Yogyakarta, sebagai pusat budaya dan pemerintahan pada masa Kesultanan Mataram, memiliki tradisi kuliner yang lahir dari kehidupan keraton.
Pada masa itu, gula kelapa dan gula aren menjadi komoditas penting di wilayah ini. Dilansir dari Badan Kebudayaan DIY, ketersediaan gula yang melimpah membuatnya banyak digunakan, bukan hanya untuk jajanan dan minuman, tetapi juga untuk lauk pauk sehari-hari.
Namun, alasan utama kuliner Jogja menjadi manis bukan sekadar karena gula yang mudah didapat. Rasa manis memiliki makna simbolis di lingkungan keraton. Menurut arsip Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, hidangan yang disajikan untuk keluarga kerajaan biasanya bercita rasa halus dan manis, mencerminkan kelembutan hati, kemakmuran, dan kasih sayang.
Seiring waktu, gaya memasak ini meluas ke masyarakat di luar keraton. Para abdi dalem dan pedagang yang tinggal di sekitar istana mulai mengadopsi cara memasak tersebut. Dari sinilah rasa manis menyebar dan menjadi identitas yang melekat pada kuliner Jogja hingga sekarang.
Manis sebagai Lambang Keharmonisan
Dalam budaya Jawa, rasa tidak hanya dilihat dari sisi kuliner, tetapi juga mengandung makna filosofis. Rasa manis dianggap sebagai simbol kerukunan, kebahagiaan, dan keseimbangan hidup.