Untuk pemilik brand, profesional PR, dan pelaku usaha kecil atau UMKM, satu tweet saja bisa jadi bom waktu. Cancel culture, meski sering dianggap kejam, adalah bagian dari ekosistem digital hari ini. Sekali salah langkah, reputasi bisa ambruk dalam hitungan jam. Tapi tenang, krisis bukan akhir segalanya. Yang penting adalah bagaimana kamu merespons.
Lalu, bagaimana ya cara menghadapi hal ini?
Kuncinya ada di bagaimana kalian pandai berkomunikasi dengan khalayak, berikut ini 5 strategi konkret yang bisa kamu terapkan saat badai cancel culture datang menghantam.
1. Jangan Panik, Lakukan Social Listening Secepatnya
Begitu muncul sinyal krisis---komentar negatif mulai membanjir, mention naik drastis---jangan buru-buru posting klarifikasi. Langkah pertama justru mendengarkan: siapa yang bicara? Apa yang mereka keluhkan? Di platform mana percakapan paling ramai?
Contoh nyata: Sebuah brand skincare lokal sempat viral karena konten kreatornya dianggap body shaming. Tim komunikasinya menahan diri dari klarifikasi selama 8 jam pertama, justru fokus memantau percakapan Twitter dan TikTok untuk memahami nada pembicaraan. Hasilnya? Respon yang mereka buat akhirnya sesuai ekspektasi publik---tenang, terarah, dan tidak defensif.
2. Akui Dulu, Klarifikasi Belakangan
Dalam cancel culture, publik lebih sensitif terhadap tone daripada teknikalitas. Jangan buru-buru membela diri. Tunjukkan bahwa kamu sadar ada yang salah dan kamu sedang menyelidikinya.
Contoh kalimat:
"Kami mendengar kekhawatiran kalian dan saat ini sedang meninjau kembali kejadian tersebut. Kami akan memberikan penjelasan lebih lanjut segera."
Bukan mengelak, tapi juga belum menyudutkan siapa pun. Ini memberi waktu untuk internal check dan mencegah kerusakan lebih jauh.
3. Libatkan Pihak Ketiga Jika Perlu
Kadang, suara brand saja tidak cukup. Untuk kasus serius---misal menyangkut diskriminasi, pelecehan, atau isu sensitif---libatkan pihak independen atau figur publik yang kredibel untuk memberi perspektif netral.
Studi kasus: Sebuah brand kopi di Jakarta pernah dikritik karena tidak menyediakan fasilitas inklusif bagi disabilitas. Mereka bekerja sama dengan komunitas difabel untuk mengevaluasi gerai mereka, lalu membuat video testimoni dari perwakilan komunitas tersebut. Respon netizen? Jauh lebih positif dibanding permintaan maaf biasa.