Living in Between
Ketika saya memposting kegiatan di media sosial, olahraga jalan kaki, entah itu di hutan, di kota di Belanda, banyak teman saya yang merespons dengan '#kaburajadulu nih?'
Memang, saat itu tagar #kaburaja dulu menjadi sangat ramai di media sosial sehubungan dengan kegamangan pejabat di Indonesia dalam membuat kebijakan. Situasi itu kemudian semakin panas dengan respons para pejabat yang maksudnya klarifikasi tetapi justru memperkeruh suasana dan seolah menantang mereka yang sedang berkarier di luar negeri untuk tidak kembali. Ini kontraproduktif dengan gelombang besar anak-anak muda potensial yang belajar maupun bekerja di luar negeri, sejalan dengan meluasnya kesempatan beasiswa maupun peluang kerja di luarnegeri yang terlihat lebih menjanjikan di internet. Akun-akun yang menawarkan beasiswa, fasilitas, dan syarat-syaratnya di hampir semua negara berseliweran dan direspons sangat antusias. Kini sekolah ke luar negeri sudah bergeser jauh, jika dulu itu merupakan privilege yang dimiliki oleh para dosen atau pegawai departemen, kini semua orang yang memiliki kualifikasi dapat mendaftarkan diri. Akibatnya memang banyak anak-anak muda yang baru lulus S1 meneruskan studi di luar negeri dengan beasiswa.
Terus, apakah memang sekolah atau hidup di luar negeri itu enak? Pertama kali harus saya klarifikasi, saya ke Belanda itu bukan karena rame-rame ikutan #kaburajadulu, tetapi itu bagian dari tugas dinas sebagai dosen. Salah satu tugas dosen itu kan menulis artikel jurnal, nah saya itu melamar untuk program secondment dari Universitas Lund, Swedia. Kenapa di Belanda? Ya karena ketersediaan data kolonial itu ya di Belanda. Major saya kan studi mobilitas etnis Minangkabau, saya mau menulis dan menelaah tentang konsep merantau sejak jaman kolonial yang kemudian menjadi determinan utama perkembangan masyarakat lokal (untuk ini lain kali saja saya ceritakan).
Kembali ke 'apakah enak?' Ya nek dari segi urusan ilmiah-ilmiah memang di Leiden (atau Belanda secara umum), emang bikin betah. Perpustakaan bagus fasilitas dan koleksinya, suasana tenang, semua orang serius membaca dan menulis, ada ruang-ruang untuk diskusi. Ini semua membuat betah duduk berlama-lama. Itu sering kali saya lupa waktu. Duduk sendiri di ruang yang tenang, akses pada literatur dan koleksi data yang berlimpah, membuat gagasan-gagasan konseptual baru dengan segera mendapat justifikasi., sehingga pertanyaan 'jangan-jangan begini' yang sering muncul dalam proses menulis artikel ilmiah dapat dikonfirmasi.
Akan tetapi, hal yang paling penting dari semua itu adalah posisi ketika kita tidak menjadi siapa-siapa di situ. Tidak ada orang yang mengenal saya dan posisi saya. Ya memang sesekali ada juga sesama orang Indonesia yang menyapa, akan tetapi ya memang sekedarnya saja. Situasi ini sangat kontras dengan di Indonesia. Meskipun saya sebenarnya juga memiliki ruang privat yang sepi di pojok, hampir selalu saja ada mahasiswa yang datang dan meminta nasihat. Apalagi dengan tradisi kita yang agaknya berprasangka kalau sedang duduk sendirian di ruang itu artinya bisa ditemui. Di sisi lain, saya juga agak tidak tegaan membiarkan mereka kebingungan, sehingga permintaan waktu 5 menit menjadi lebih dari 20 menit.
Di situasi liminal itu, bilangnya Turner, orang memang memiliki ruang reflektif yang produktif. Ini sebuah keheningan akademis.yang membuat kita punya waktu untuk memikirkan sungguh-sungguh posisi epistemologis dan praksis keilmuan. Itu sesuatu yang mahal dalam kehidupan dosen. Itulah kenapa menyenangkan.
Untuk hidup? Keteraturan yang dibentuk oleh struktur yang mapan memang menjanjikan stabilitas dan keamanan. Asal kita megikuti semua prosedur dengan baik dan tidak mencoba berimprovisasi aneh-aneh, insyaalloh semuanya aman. Kalau mau menyeberang jalan tunggu lampu hijau. Untuk ketemu orang buat janji. Kalau berurusan dengan institusi pastikan semua syarat lengkap. Datang sesuai dengan waktu yang ditentukan. Kalau bisa begitu semua pasti aman, lancar, dan nyaman sekali.
Akan tetapi hal itu juga menjadi jebakan bagi kehidupan yang monoton. Ya hanya gitu-gitu saja. Terstruktur. Kurang menantang. Belum lagi apa-apa mahal sekarang, sehingga makan pun tidak lagi sesuai dengan selera tetapi dibentuk oleh diskon.
Saya hingga sekarang itu belum bisa hidup tanpa nasi sehari pun. Meskipun hanya pada malam hari, saya harus makan nasi. Pernah mencoba hanya makan roti agar lebih hemat maksudnya, eh esoknya badan malah mriang. Padahal kalau makan nasi kan gak bisa hanya nasi thok kan? Minimal ada lauk atau sayur untuk mendorong nasi ke lambung. Artinya itu budget tambahan. Belum lagi, apa iya setiap hari makan dengan telur ceplok saja?! Ya udah, pas ada diskon terong 1+1 di Albertheijn atau Jumbo (ini nama supermarket terdekat dari tempat tinggal) ya ambil saja entah itu nanti dioseng sama sambal botolan Indonesia versi Belanda yang rasanya aneh itu atau disayur dikasihn bumbu bawang geprek dan garam. Sesekali pengin juga jajan makanan Turki kapsalon atau doner, tapi kok melihat harganya gak jadi. Otak saya selalu membandingkan, harga segitu itu kalo kubelikan telur kan bisa dapat 60 butir?!
Terlalu sendiri itu juga sangat tidak enak. Semua orang sudah terkotak-kotak dalam dunianya sendiri, sehingga untuk sekedar bertemu ngobrol, pakai bahasa Jawa atau bahasa Indonesia untuk melepas lelah mikir dalam bahasa Inggris atau Belanda, susah sekali. Persinggungan-persinggung terlalu sementara dan tidak mendalam. Semua sudah terkotak dalam kepentingan. Padahal kita ini kan orang-orang yang sejak lahir pun selalu diajari terikat dengan orang lain dan komunitas. Sendiri kita itu hilang, tidak ada apa-apa dan gak punya makna. Bilangnya Carsten itu culture of relatedness.
Jadi jangan selalu menginterpretasikan postinga gambar yang bagus sebagai kenyamanan dan kemewahan. Jangan-jangan itu hanya pelipur lara kami yang kesepian, terlibat dalam kerinduan hakiki dan haus rekognisi karena terjebak dalam ruang struktur yang terlalu rigid. Jangan-jangan itu hanya cara kami saja menghibur diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI