Mohon tunggu...
Agus Indy.
Agus Indy. Mohon Tunggu... Antropolog Pemula (Blajaran)

Saya seorang pendongeng yang suka menulis cerita-cerita etnografi yang ringan, cerita sehari-hari, sekalian latihan nulis field notes

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngaji dan Selera

18 Maret 2025   15:38 Diperbarui: 18 Maret 2025   15:38 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 Mak dheg! Saya trataban (berdebar-debar) betul ketika mbah Rebo yang notabene merupakan salah satu imam permanen di masjidku tiba-tiba melontarkan pertanyaan super berat macam begini: 'mas dosen, jan-jannya, yang namanya wahabi itu apa to?' Saat itu kami berempat selonjoran di teras masjid menunggu gerimis reda. Di situ ada juga mbah Ngalim yang juga berstatus imam permanen, pak Hadi yang kadang menjadi imam cadangan, serta saya yang imam pocokan alias imam tembak. Jadi ini forum para imam, meskipun levelnya berbeda wehehe

Yang membuat berat itu adalah kata 'jan-jannya' itu. Menurut ki Sindung, yang guru pilsafat itu, pertanyaan semacam itu bersifat substantif, dus jawabannya tidak boleh miyar miyur, tegas dan harus menunjuk pada sesuatu yang mendasar. Kapokmu kapan?! Ini jelas menjadi beban tersendiri bagiku yang meskipun dosen ngGadjah Mada, tetap masih cap kambing. Lha tidak menjadi beban gimana, di satu sisi mbah Rebo itu sering menganggap saya waskitha je, lha kalo jawabanku mengecewakan kan ya gimana. 'Piyayi Nggajahmodo je'. Sementara itu saya tidak punya ngelmu yang cukup untuk ngomongin itu. Ha mosok ngomongin subtantif di forum imam kok referensinya wikipedia, sorry no ya.

Untuk mengulur waktu berpikir  seperti biasa, saya menanyakan ulang.

'ada apa je mbah?' tanyaku

'itu loh kok ya bolehnya gawat. Orang ngaji saja kok dibubarkan segala. Emangnya apa to yang diajarkan itu? Kok sampai segitu?' tanya mbah Rebo lagi.

'ha ya mestinya mengganggu.' sahut mbah Ngalim pendek. Beliau memang pendiam.

'mengganggunya itu gimana?' tanya mbah Rebo lagi. Mbah Ngalim diam.

'rebutan mesjid katanya,' sahut pak Hadi sambil tersenyum. Beliau memang yang paling ramah dan banyak senyum di antara jamaah masjid kami.

'lah, mesjid kok dinggo (dipakai) rebutan?!' gerutu mbah Rebo,'... orang ke masjid itu kan ya mestinya mau bikin yang baik-baik...ngaji ya ngaji saja... sholat, pengajian, latihan hadroh...'

'lha kalo isi pengajiannya gak cocok?' tanya pak Hadi masih dengan senyum.

'lha kan ya dhewe-dhewe jamaah e.... kan bisa gantian to?!... hari ini yang ngaji kelompok ini, besuk kelompok ini... besoknya lagi ustadz itu dengan suporternya... ha kok repot men..' jawab mbah Rebo tangkas.

'kok suporter?... kayak bal-balan saja,'sahutku geli. Semua tertawa pelan.

'Ha iya to... orang ngaji itu kan bolo-bolonan, grup-grup an.... Ngaji itu kan cocok-cocokan dengan selera... Coba to dititeni saja, jarang banget lho yang mau ikut pengajian umum gitu,' lanjut mbah Rebo.

'ngaji yang umum itu yang gimana to mbah?' tanya saya geli.

'contohnya ya njenengan itu... kalo diundang pengajian ke masjid ikut terus... datang dan duduk terus sambil makan jajan pelan-pelan... itu beda, kalo orang sini kan biasanya makan jajannya cepat, habis lalu duduk menikmati ceramah... Bagusnya itu, meski seringkali ceramahnya itu tidak sesuai dengan selera, tapi njenengan duduk sampai selesai....' lanjut beliau terkekeh.  Aku kena sodok telak nih! Meski begitu aku tetap tertawa, ikut yang lain.

'Mosok kayak gitu?' tanya saya sambil ketawa.

'ha buktinya ketika yang lain tertawa terbahak, njenengan malah klakepan, menguap, gitu...' lanjutnya bersemangat sambil terkekeh. Bagaimanapun saya harus mengakui kejelian beliau melakukan observasi. Saya terbahak keras. Semua tertawa, mbah Ngalim saja yang senyum-senyum.

Setelah ketawa reda,

'lha tapi kalo ceramahnya itu isinya ngomongin bidengah, kapir, dan sebagainya itu, itu kan nyindir-nyindir kelompok lain to?!' tanya saya

'...lha mbok ya biarin, orang ngomong saja lho... tidak menggigit saja kok... apakah kalo dikapirkan lantas kita jadi kapir? Kan mboten?! Lha mbok dijarke saja, biarin... lambe ya lembenya mereka... kalo capek kan berhenti sendiri. Urusan masuk surga atau neraka biar itu urusannya Alloh saja, gak usah ikut-ikut... emang mereka calo surga po?  Kok le kuwanen, berani... Nyathut kok haknya Gusti Alloh...' sergah beliau panjang lebar. Kami semua diam ngelangut.

'Orang hidup itu sing penting guyub. Ini kan masalah selera saja ... dakwah nggih dakwah, tapi  kan ibarat sama-sama penyuka daging kambing, ada yang suka sate ya sana... suka tongseng ya sana... gak usah lah saling ngomentari, saling ngece.... ha nek dakwahnya ustadz ini dikomentari orang grup lain ya jelas ora gathuk lah.. ha jelas-jelas penyuka ayam goreng kok komentar tentang tongsengnya pak Min mBesi ... ' pungkasnya lugas.

Kami semua lantas terdiam. Baru paham saya, kenapa di masjid kami itu selalu terbuka dan sangat beragam isinya. Kadang pakai qunut, tidak pun gak masalah ketika saya lupa tidak baca (karena saking ndhredhegnya di suruh ngimami sholat subuh). Jamaahnya beragam, ada yang pakai sarung, banyak pula yang pakai seragam gamis. Baunya pun begitu ada yang seharum parfum misik orang beriman hingga ting klenyit-nya kringet dan bau lumpur. Siapa yang mau jadi imam tidak masalah, sing penting pada sholat jamaah.

Alangkah indahnya ya kalo beragama itu tidak pakai menang-menangan, tidak merasa paling tahu dan paling benar, tidak merasa paling punya otoritas makili Dia.

Ha kok ndilalahnya itu kok ya tiba-tiba banyak orang yang merasa sok heibat, sok ngerti kitab, sok ngerti dalil, ngomentari di media sosial tentang ustadz tertentu. Ha nek niat ki mbok ya datang saja ke pengajiannya, kemudian bertanyalah. Kalo gak ya bikinlah sendiri pengajian yang mendatangkan banyak orang kayak gitu.

Eeee ya namanya media sosial...

***Klakepan wae lah aku... oooooaaaahhheemm

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun