Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari "Beas Perelek" ke Donasi Seribu Rupiah Sehari: Kearifan Lokal yang Nyaris Dilupakan

10 Oktober 2025   13:57 Diperbarui: 10 Oktober 2025   14:22 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: setiap sendok beras yang disisihkan, menjadi lambang gotong royong dalam tradisi "Beas Perelek".(freepik.com) 

Gerakan Seribu Rupiah Sehari

Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat menggagas gerakan donasi Rp 1.000 per hari. Melalui surat edaran resmi, warga diajak menyumbang secara sukarela untuk membantu kebutuhan sosial, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.

Gerakan ini mengundang banyak tanggapan: ada yang memuji semangat gotong royongnya, ada pula yang mengkritik soal mekanisme dan transparansi. Namun bagi saya, gagasan itu justru mengingatkan pada sesuatu yang lebih tua, lebih alami, dan lebih membumi berupa tradisi yang sudah hidup jauh sebelum rekening Bank BJB dibuka.

Namanya Beas Perelek.

Tradisi di Kampung Cisalak

Sejak saya kecil, Beas Perelek sudah menjadi bagian dari kehidupan di kampung saya, Cisalak, Subang bagian selatan. Tradisi ini begitu sederhana: setiap ibu rumah tangga menyisihkan satu sendok beras setiap kali memasak nasi, lalu memasukkannya ke dalam celengan bambu yang tergantung di depan rumah.

Celengan itu biasanya berupa potongan bambu dengan tutup dari tempurung kelapa. Tak ada aturan kaku. Siapa pun boleh menyumbang, sebanyak apa pun yang bisa. Jika dalam sehari memasak dua kali, berarti dua sendok beras tersimpan.

Setiap beberapa hari, ada petugas kampung yang berkeliling mengumpulkan beras-beras itu dari rumah ke rumah. Hasilnya tidak seberapa, tapi cukup untuk menjadi kas kampung. Biasanya dipakai untuk kegiatan sosial: membantu warga yang sakit, menyambut hari besar agama, atau memeriahkan 17 Agustusan.

Saya masih ingat suasananya. Ketika petugas datang, ibu-ibu menyambut dengan ramah. Ada suara bambu diketuk di pagar, aroma nasi yang baru matang, dan senyum hangat dari dapur. Semua dilakukan dengan ikhlas, tanpa laporan, tanpa formalitas.

Makna yang Lebih Dalam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun