Kadang saya mikir, kenapa sih saya masih betah nulis di Kompasiana?
Padahal bisa saja saya menulis di blog pribadi: rumah sendiri, bebas ngatur isi, tanpa saingan di beranda trending.
Tapi entah kenapa, saya selalu balik lagi ke sini.
Mungkin karena di Kompasiana, saya tidak hanya menulis, tapi juga berjualan gagasan di pasar besar.
Bedanya, kalau di pasar sungguhan kita bayar sewa lapak, di sini buka lapak gratis: tanpa sewa, tanpa pungutan liar, dan tentu saja tanpa jatah preman... :)
Lapak Gratis, Resiko Tetap Ada
Ya, lapaknya memang gratis, tapi risikonya tetap ada:
pembaca lewat tanpa nengok, komentar kosong, dan statistik views yang bisa bikin kita merasa seperti pedagang sayur jam lima sore.
Kadang tulisan baru tayang lima menit, sudah turun ke bawah karena lapak sebelah upload tulisan "10 Cara Move On Tanpa Air Mata". Siapa yang mau baca refleksi saya kalau judulnya nggak pakai resep "cinta"?
Mirip judul lagu, kecuali lagu religi kali ya?
Tapi di situlah seninya.
Kita menulis bukan untuk viral, tapi untuk waras.
Bukan untuk lomba like, tapi untuk menguji logika. Meski kadang yang menang tetap yang tulisannya menggunakan resep paling "cinta" dari admin.
Admin, Sang Pengelola Pasar
Untungnya pasar ini ada pengelolanya: Admin Kompasiana.
Mereka seperti petugas pasar yang sabar: rajin bersih-bersih spam, ngatur tata letak lapak, bahkan sesekali kasih penghargaan Artikel Utama buat pedagang yang tampil beda.
Kalau artikel kita terpilih AU, rasanya seperti kios kecil tiba-tiba viral di TikTok.
Tiba-tiba pembaca datang berbondong-bondong, padahal kemarin masih sepi kayak warung mi instan jam tiga pagi.
Selanjutnya yang paling lucu, di Kompasiana kita bukan cuma menulis, tapi juga belajar promosi.
Mulai dari yang kasih komentar "tulisannya keren, Pak!" biar dibalas kunjungan, sampai strategi follow for follow yang lebih hangat dari politik pencitraan.
Pasar Gagasan: Riuh Tapi Ramah
Kompasiana itu pasar gagasan yang riuh tapi ramah.
Ada penjual opini, pedagang puisi, tukang jual curhat, sampai reseller berita politik.
Ada juga yang dagangannya gak jelas: judulnya religius, isinya keluhan tagihan listrik.
Tapi begitulah pasar, makin beragam makin ramai.
Selanjutnya jujur saja, saya lebih suka suasana seperti ini daripada blog pribadi yang sunyi.
Blog itu seperti rumah kontrakan: rapi, tapi sepi.
Sementara Kompasiana, ya seperti pasar: berisik, tapi hidup.
Kita bisa sapa pedagang sebelah, bisa saling sindir halus di kolom komentar, bahkan bisa jadi teman nulis di dunia nyata.
Dagangan Tak Selalu Laku
Kadang, saya sudah nulis dengan riset serius, editan rapi, dan judul yang elegan.
Tapi views-nya? Nihil.
Sementara tulisan lain yang cuma berisi "curhat patah hati di hari Senin" bisa masuk headline.
Di situ saya sadar: ternyata Kompasiana juga seperti dunia nyata yang laku bukan selalu yang berkualitas, tapi yang mengundang rasa penasaran.
Tapi ya sudahlah.
Kalau dagangan tak laku hari ini, besok buka lapak lagi.
Namanya juga pasar, bukan museum.
Toh selama masih ada pembaca yang mampir, meski cuma satu orang, saya tetap merasa beruntung.
Penutup: Dagang Tanpa Modal, Untungnya Batin
Jadi, kalau ditanya kenapa saya masih menulis di Kompasiana, jawabannya sederhana:
karena di sini saya bisa buka lapak tanpa modal, tanpa sewa, tanpa jatah preman, dan tanpa perlu takut digusur algoritma, meski kadang tetap digeser oleh tulisan yang lebih beresep "cinta".
Menulis di sini itu seperti berdagang di pasar yang aneh tapi menyenangkan.
Tak ada uang berputar, tapi ada ide yang berpindah tangan.
Tak ada aroma bawang, tapi ada aroma perjuangan.
Selanjutnya yang paling penting: ada rasa kebersamaan di antara para pedagang gagasan yang tetap semangat walau kadang dagangannya basi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI