Dilansir dari Kanal YouTube: "TRIBUN-VIDEO.COM -Â Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tegas mengancam bakal memindahkan aparatur sipil negara (ASN) yang tidak produktif, untuk membantu pekerjaan administrasi di sekolah-sekolah. Ancaman itu disampaikan Dedi Mulyadi di Makodam III Siliwangi, Bandung, Minggu (5/10). Dedi Mulyadi awalnya meminta jajarannya melakukan penataan ulang terhadap ASN di lingkungan pemerintah provinsi."
Beberapa waktu lalu, beredar pemberitaan tentang pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengancam akan memindahkan ASN tidak produktif ke sekolah-sekolah untuk membantu administrasi.
Sekilas, ucapannya terdengar seperti langkah penataan birokrasi yang wajar. Namun, bagi kami yang bekerja di Tata Usaha (TU) sekolah, pernyataan itu terasa mengusik: seolah-olah sekolah adalah tempat pembuangan pegawai.
Saya bekerja di salah satu sekolah negeri, dan dari total dua puluh lima tenaga TU, hanya tiga orang yang berstatus ASN. Selebihnya adalah tenaga honorer, orang-orang yang sudah puluhan tahun mengabdi tanpa kepastian status, dengan gaji seadanya, tapi tetap setia datang pagi-pagi, membuka ruang administrasi, dan menutup sekolah ketika semua sudah pulang.
Mereka bukan sekadar pembantu administrasi. Mereka adalah penjaga alur pendidikan yang tak terlihat.
Saat guru sibuk mengajar di kelas, TU mengelola data siswa, menyusun laporan BOS, mencatat surat masuk dan keluar, mengurus dapodik, mempersiapkan dokumen akreditasi, bahkan menenangkan wali murid yang kebingungan soal ijazah anaknya.
Namun sayang, kerja mereka sering kali dianggap pelengkap semata.
Dilema Pengabdian Tanpa Kepastian
Banyak rekan TU honorer yang telah mengabdi lebih dari 15-20 tahun. Mereka tahu betul seluk-beluk sistem pendidikan, dari kurikulum berganti hingga aplikasi berubah.
Kini, di tengah upaya pemerintah membuka jalur pengangkatan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), mereka menyimpan harapan besar. Tapi, persyaratannya tak mudah. Ada batas usia, kriteria administratif, bahkan formasi yang terbatas.