Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Jika Indonesia Lolos Piala Dunia, Saya Berharap...

7 Oktober 2025   05:23 Diperbarui: 7 Oktober 2025   20:11 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak bermain bola. (thinkstock/saiyood via Kompas.com)

Jika Indonesia benar-benar lolos ke Piala Dunia 2026, sebagian orang mungkin sudah membayangkan euforia besar: stadion yang gegap gempita, suporter yang berangkat ke Amerika, atau pesta nobar dengan bendera merah putih berkibar di tiap gang. Tapi saya tidak seheboh itu. Saya tidak berencana menonton langsung ke stadion, tidak pula menyiapkan terompet dan drum untuk pawai.

Saya hanya berharap dan tentu saja, berdo'a agar kelolosan itu benar-benar menjadi tonggak kebangkitan sepak bola Indonesia, bukan sekadar momen sesaat yang cepat padam setelah peluit akhir.

Dari Nyinyir ke Percaya

Tak bisa dipungkiri, perjalanan Indonesia menuju titik ini bukanlah hal yang mudah. Ada masa ketika nama-nama pemain naturalisasi menimbulkan perdebatan panjang. "Apakah mereka benar-benar cinta Indonesia?" begitu pertanyaan yang dulu kerap terdengar.

Ada yang menuduh langkah naturalisasi ini sebagai jalan pintas, ada pula yang mencibir seolah kita tak mampu melahirkan pemain berbakat sendiri. Namun waktu berjalan, dan hasil di lapangan mulai berbicara. Gol demi gol tercipta, prestasi demi prestasi diraih, hingga pelan-pelan publik yang nyinyir itu luluh oleh rasa bangga.

Kini, saat peluang menuju Piala Dunia terbuka lebar, naturalisasi justru dianggap sebagai bagian dari strategi cerdas bukan sekadar solusi instan. Kita akhirnya sampai di titik temu: bahwa cinta tanah air tidak selalu diukur dari tempat lahir, tapi dari kesungguhan untuk memberi yang terbaik bagi merah putih.

Pelajaran dari Negeri Sebelah

Namun di tengah rasa bangga itu, saya justru merasa sedikit prihatin. Malaysia, negara tetangga sekaligus rival abadi Timnas kita baru-baru ini mendapat sanksi FIFA karena dianggap melanggar aturan dalam proses naturalisasi pemain. Meski sekarang masih dalam tahap banding, dan kabarnya pihak FAM tengah berusaha menghadirkan pengacara terbaik internasionalnya.

Ironis memang. Mereka seolah ingin meniru langkah Indonesia, berharap efek instan dari pemain keturunan. Tapi hasilnya justru sebaliknya: bukan prestasi yang datang, melainkan sanksi yang menampar.

Bukan Sekadar Menang

Jika Indonesia benar-benar melangkah ke Piala Dunia 2026, saya tidak akan menilai keberhasilan itu semata-mata dari skor pertandingan atau posisi klasemen. Bagi saya, pencapaian itu adalah buah dari proses panjang yang penuh ujian.

Saya berharap, kelolosan itu menjadi momen refleksi bagi semua pihak: bahwa Indonesia bisa karena bersabar menghadapi prosesnya. Bahwa segala perdebatan, kritik, dan bahkan cibiran tentang naturalisasi akhirnya menjadi bagian dari pembelajaran nasional.

Piala Dunia nanti, entah Indonesia menang, seri, atau kalah, harus menjadi ruang refleksi akan kematangan kita sebagai bangsa yang belajar dari pengalaman.

Selanjutnya setelah peluit terakhir berbunyi, semoga kita tidak berhenti di situ saja.

Harapan dari Akar Rumput

Harapan saya yang paling besar justru ada di sini: pada akar rumput, pada lapangan-lapangan kecil di kampung, pada anak-anak yang bermain bola tanpa alas kaki di tanah berdebu.

Saya ingin melihat semangat baru tumbuh di klub-klub lokal. Lapangan desa yang dulu sepi kini ramai lagi oleh pelatih muda yang sabar, orang tua yang bangga mendampingi anaknya berlatih, dan komunitas yang mulai percaya bahwa dari kampung pun bisa lahir bintang.

Sepak bola kita tidak boleh terus bergantung pada naturalisasi. Bukan berarti menolak pemain keturunan, mereka tetap bagian dari kita, tapi regenerasi harus berjalan dari bawah. Karena sehebat apa pun strategi di tingkat nasional, tanpa pondasi yang kuat di tingkat daerah, semuanya akan mudah runtuh.

Saya berharap pemerintah, federasi, dan dunia usaha bisa melihat ini. Bahwa investasi terbesar bukan pada stadion megah atau gaji pelatih asing, melainkan pada pendidikan sepak bola di usia dini. Pada fasilitas dasar, gizi yang baik, dan pelatih yang benar-benar memahami karakter anak-anak Indonesia.

Sepak Bola sebagai Cermin Bangsa

Sepak bola, pada akhirnya, selalu menjadi cermin dari bangsa yang memainkannya. Tim yang disiplin, sabar, dan bermain kolektif mencerminkan masyarakat yang menghargai kerja sama. Sebaliknya, tim yang hanya mengandalkan bintang individu sering kali tumbuh di tengah budaya yang terlalu memuja sosok tunggal.

Maka saya berharap, keberhasilan Indonesia kelak tidak hanya diukur dari lolosnya kita ke Piala Dunia, tapi dari perubahan budaya yang lahir karenanya. Semoga sepak bola bisa mengajarkan kita banyak hal: tentang kerja keras, tentang menghormati proses, dan tentang arti kebersamaan yang sesungguhnya.

Sebab di lapangan, tidak ada gelar orang penting. Yang ada hanya sebelas pemain yang saling percaya, saling menutup kekurangan, dan bersama-sama mengangkat satu bendera yang sama.

Do'a yang Sederhana

Jika nanti lagu Indonesia Raya benar-benar berkumandang di ajang Piala Dunia, saya mungkin akan menatap layar televisi dengan mata berkaca-kaca. Bukan hanya karena bangga, tapi karena sadar: perjalanan panjang ini pernah penuh kerikil, namun kita berhasil melewatinya.

Saya akan berdo'a, agar kemenangan itu menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya. Agar anak-anak di kampung kecil pun percaya, bahwa mimpi mengenakan seragam merah putih bukan lagi angan-angan jauh.

Selanjutnya setelah itu, saya hanya ingin agar semua pihak: federasi, pelatih, pemain, dan suporter tidak berpuas diri. Karena sesungguhnya, keberhasilan sejati bukan ketika kita lolos sekali, tetapi ketika kita mampu menjaga dan melahirkan generasi yang bisa lolos lagi dan lagi.

Penutup

Jika Indonesia benar-benar lolos ke Piala Dunia 2026, saya berharap itu bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari babak baru sepak bola Indonesia. Babak yang lebih jujur, lebih membumi, dan lebih berpihak pada pembinaan.

Selanjutnya dari tempat saya berdiri, entah di depan televisi, di rumah, atau di lapangan kecil kampung saya akan tetap berharap dan berdo'a:
semoga dari kaki anak-anak Indonesia yang sederhana itulah, masa depan sepak bola kita tumbuh, melesat, dan membuat dunia menoleh kagum.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun