Suatu hari, kabar mengejutkan datang: pihak Keraton Sumedang Larang mencari keturunan salah satu selir kerajaan, dan nama keluarga kami tercantum di dalamnya.
Kami sempat saling berpandangan. "Kerajaan Sumedang masih ada?" tanya seseorang spontan. Lalu tawa pun pecah, diiringi rasa heran yang sama: selama ini kami tinggal tak jauh dari Sumedang, tapi tak pernah benar-benar tahu bahwa di sana masih berdiri sebuah keraton yang hidup, lengkap dengan silsilah, artefak, dan raja yang ditunjuk secara resmi.
Bagi kami, nama keraton selalu identik dengan Jogja, Solo, atau Cirebon. Sumedang? Paling-paling dikenal karena tahu dan ubi cilembu. Tapi rupanya, jauh di balik citra kulinernya yang melekat, Sumedang menyimpan warisan sejarah besar yang masih berdenyut: Keraton Sumedang Larang.
Awal yang Tak Disangka
Kisah ini berawal ketika pihak keraton menelusuri kembali silsilah keturunan para bangsawan lama. Dari hasil penelusuran mereka, nama Ibu Suhaemi atau Nenek Onih leluhur kami muncul dalam daftar sebagai keturunan salah satu selir kerajaan.
Reaksi kami? Tentu saja heran. Hidup kami sederhana, tidak ada sedikit pun aroma kebangsawanan dalam darah ini. Maka ketika undangan resmi datang, kami menganggapnya aneh tapi menarik. "Kalau benar, ya alhamdulillah. Kalau salah, paling jadi bahan cerita," kata Wa Iim Efendi, anak laki-laki Nenek Onih yang masih ada, beliau akhirnya berangkat sebagai perwakilan keluarga.
Di Keraton Sumedang Larang, Wa Iim disambut dengan ramah. Ia berfoto bersama tokoh-tokoh keraton, menerima salinan silsilah dan penyematan gelar Raden Iim Efendi. Dari foto-fotonya, terlihat bangunan tua berlantai kayu, dinding penuh foto leluhur, serta artefak seperti kujang, tombak, dan mahkota bukti bahwa kerajaan ini memang masih dijaga keberadaannya.
Selanjutnya di titik itu kami baru sadar: kerajaan Sumedang bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia nyata, hidup, dan memiliki peran kultural yang penting hingga hari ini.
Sumedang Larang: Warisan yang Bertahan di Tengah Zaman