Kita sering hidup dalam standar umum: kopi dianggap keren, kopi itu identik produktif, kopi itu teman sejati kaum muda. Tetapi pengalaman saya menunjukan bahwa tubuh punya bahasa sendiri. Bahasa itu kadang berupa gejala yang tidak nyaman, sebagai cara untuk berkata: "Berhenti, ini tidak baik untukmu."
Menemukan Alternatif
Perjalanan saya menjauhi kopi tidak berarti menghilangkan kebiasaan menikmati minuman hangat. Saya menemukan alternatif lain yang lebih ramah: teh herbal, jahe hangat, bahkan hanya segelas air putih hangat di malam hari.
Chamomile, misalnya, sering memberi rasa tenang menjelang tidur. Jahe memberi hangat pada lambung yang sensitif. Sementara susu hangat kadang jadi teman sederhana untuk menutup hari. Semua itu mungkin terdengar sepele, tetapi justru di situlah letak maknanya: saya bisa tetap menikmati momen "menyeruput" tanpa harus menukar ketenangan saya dengan kecemasan.
Refleksi
Pengalaman saya dengan kopi mungkin berbeda dengan mayoritas orang. Tetapi saya percaya, cerita ini bukan hanya milik saya seorang. Banyak orang di luar sana mungkin merasakan hal yang sama: tubuh menolak kopi, tetapi mereka ragu mengakuinya karena takut dianggap aneh atau tidak gaul.
Padahal, sehat itu bukan soal mengikuti apa yang orang lain minum, melainkan bagaimana kita merawat diri sesuai kebutuhan. Menolak kopi bukan kelemahan, justru bentuk keberanian untuk mengakui bahwa tubuh kita punya batas.
Saya belajar bahwa sebagai penyintas gangguan kecemasan, kunci utamanya adalah kejujuran pada diri sendiri. Termasuk kejujuran untuk mengatakan: "Kopi bukan untuk saya."
Penutup
Kopi akan selalu jadi bagian dari budaya dan gaya hidup banyak orang. Saya menghargainya. Saya juga menikmati obrolan dengan teman-teman yang menyeruput kopi mereka, meski gelas saya hanya berisi teh atau air hangat.
Hidup bukan soal apa yang ada di dalam gelas, tetapi bagaimana kita bisa menjaga tubuh dan pikiran tetap waras.