Pendahuluan
Belum lama ini, saya berbincang dengan seorang guru agama di sekolah. Obrolan awalnya ringan, namun tiba-tiba berubah menjadi pukulan batin. Saya mendengar kabar yang membuat saya terperanjat: seorang guru besar pengasuh pesantren, sosok yang puluhan tahun melalang buana sebagai da'i kondang, ternyata menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap anak angkatnya.
Saya terdiam. Sulit menerima kenyataan itu. Betapa tidak, dari ceramah-ceramahnya ia terlihat begitu alim, fasih dalam berdakwah, dan digugu ribuan jamaah. Namun di balik itu, tersembunyi aib yang mengoyak sendi moral. Bagaimana mungkin seorang guru yang seharusnya menjadi panutan justru tega melukai mereka yang seharusnya dilindungi?
Di titik inilah saya teringat kembali hakikat pendidikan. Pendidikan tidak hanya soal mentransfer ilmu, bukan pula sekadar kemampuan bicara di panggung. Pendidikan pada dasarnya adalah soal keteladanan. Guru bukan hanya pengajar, melainkan figur yang dipandang dan ditiru. Ketika ucapan dan tindakan tidak sejalan, maka runtuhlah seluruh nilai yang dibangun.
Ucapan dan Tindakan yang Tak Sejalan
Fenomena guru besar tadi seakan menampar kita semua. Ilmu yang luas, gelar yang tinggi, dan kefasihan dakwah tidak menjamin lahirnya keteladanan. Bahkan, jika tidak disertai laku hidup yang sesuai, semuanya menjadi topeng yang menipu.
Saya membayangkan, puluhan tahun ia berdiri di mimbar, menyampaikan pesan-pesan agama, menuntun jamaah dengan kata-kata yang indah. Namun ternyata, pada saat yang sama ia menyimpan sisi gelap yang menghancurkan kepercayaan.
Ironi ini mencerminkan problem besar pendidikan kita hari ini: banyak guru, sedikit teladan. Kita punya banyak orang pintar, banyak yang fasih bicara, tetapi sedikit yang benar-benar menghidupi apa yang mereka ajarkan. Padahal, sejatinya guru adalah cermin. Jika cermin itu retak, murid-murid pun kebingungan melihat bayangan mereka sendiri.
Keteladanan Seorang Guru Sederhana
Di tengah kegelisahan ini, ingatan saya melayang pada sosok ayah. Beliau bukanlah guru besar, bukan pula pemilik pesantren. Beliau hanyalah seorang guru sederhana di kampung. Namun justru dari kesederhanaannya, saya belajar apa arti keteladanan yang sejati.