Bagi masyarakat Graha Bukit Raya, berita ini terasa begitu dekat. Meski sekolah-sekolah di komplek ini belum terdampak langsung, wilayahnya masih satu administrasi dengan lokasi kejadian. Kekhawatiran pun cepat menyebar, terutama di kalangan orang tua yang anaknya bersekolah di SD, SMP, dan SMK di sekitar sini.
"Kalau makanan itu sampai dikemas berjam-jam sebelum dibagikan, siapa yang bisa jamin kebersihannya?" keluh istri saya, menguatkan asumsi adiknya.
Ompreng dan Risiko yang Mengintai
Makanan yang dimasak secara massal, lalu diporsikan ke ratusan wadah sebelum dikirim ke sekolah-sekolah. Dalam proses inilah risiko kontaminasi muncul. Sedikit kelalaian entah dari kebersihan dapur, peralatan, atau wadah bisa berdampak besar.
Hal ini selaras dengan pernyataan pejabat daerah yang dikutip JabarNews.com, bahwa standar higienitas harus diperketat, terutama pada tahapan pengemasan. Jika terbukti ada kelalaian, penyedia katering akan diganti.
Dari Rasa Syukur ke Rasa Takut
Pada awalnya, program MBG disambut dengan rasa syukur. Orang tua merasa terbantu karena anak-anak mendapatkan makanan bergizi lengkap setiap hari. Menu seperti ayam, ikan, sayur, dan buah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Saya sendiri pernah melihat senyum lebar seorang siswa ketika membuka ompreng berisi lauk kesukaannya. Dari momen sederhana itu, saya percaya program ini bisa membawa perubahan nyata bagi generasi mendatang.
Namun kini, rasa syukur itu perlahan bergeser menjadi rasa takut. Beberapa tetangga adik ipar saya bahkan membicarakan rencana menarik anak-anak mereka dari program MBG, setidaknya sampai situasi benar-benar jelas dan aman.
"Kalau satu anak sakit saja, yang panik bukan cuma orang tuanya, tapi seluruh lingkungan," kata seorang ibu yang anaknya duduk di kelas dua SD.
Ketakutan ini bukan soal gengsi atau penolakan terhadap bantuan pemerintah, tetapi soal kepercayaan. Sekali kepercayaan publik terguncang, akan sulit mengembalikannya, meski program ini gratis dan bertujuan mulia.