Pendahuluan
Di Indonesia, berbicara tentang pendidikan hampir selalu identik dengan buku. Saya masih ingat betul saat menyusun skripsi dulu, referensi buku yang harus saya baca sampai serenceng, memenuhi meja dan rak. Itu semua demi memenuhi syarat untuk lulus S1 dan menjadi guru.
Ya, untuk menjadi guru saja, ijazah minimal S1 adalah syarat. Gaji saya saat pertama kali menjadi guru honorer hanya cukup buat hidup alakadarnya.
Di sisi lain, anggota DPR cukup dengan ijazah setara SLTA bisa menerima gaji serta tunjangan hingga ratusan juta rupiah per bulan. Dari situ saja sudah bisa dibaca ada yang tidak beres dalam sistem pemerintahan kita.
Analogi Calo Literasi
Hari ini, banyak pejabat yang lantang berbicara soal literasi. Tapi pada praktiknya, mereka sering kali tak benar-benar terlibat.Â
Fenomena ini mengingatkan saya pada suasana terminal. Bayangkan seorang calo yang berteriak keras, "Bandung! Bandung! Yang mau ke Bandung, ayo naik!"Â
Tetapi ketika bus benar-benar berangkat, ia sendiri tidak ikut naik. Ia hanya berdiri di pinggir, sekadar mendapatkan keuntungan dari transaksi dengan sopir, tanpa pernah merasakan perjalanan itu sendiri.
Begitulah literasi pejabat kita hari ini. Mereka bicara panjang lebar tentang pentingnya membaca, bahkan hadir di acara peresmian taman bacaan, tapi tidak pernah terlihat benar-benar dekat dengan buku.
Yang dipamerkan di media sosial justru mobil mewah, pakaian branded, atau jam tangan mewah, bukan buku yang mereka baca. Akibatnya, literasi hanya jadi slogan, bukan budaya.
Dulu Pejabat Kita Kutu Buku
Bandingkan dengan pejabat masa lalu, para pendiri bangsa yang benar-benar pecinta buku.
Kita mengenal Soekarno, yang sejak muda tekun membaca buku sejarah dan politik hingga bisa memformulasikan ide-ide besar tentang kemerdekaan.
Ada Mohammad Hatta, yang bahkan membawa koleksi bukunya saat diasingkan ke kepulauan Banda. Buku bagi mereka adalah bahan bakar perjuangan, bukan sekadar properti pemanis ruangan.
Pendiri Budi Utomo, tonggak kebangkitan bangsa, juga lahir dari lingkungan akademis yang erat dengan buku. Mereka membaca, berdiskusi, lalu bertindak. Tak heran jika kebijakan yang mereka lahirkan memiliki visi jauh ke depan dan berakar pada pengetahuan.
Sekarang? Ijazah Minim, Omongan Maksimal
Lalu, bagaimana dengan pejabat hari ini? Tak jarang kita melihat mereka mencak-mencak di televisi, mengeluarkan pernyataan emosional tanpa dasar, bahkan saling sindir layaknya acara gosip.
Ijazah minimal SMA sudah cukup untuk menduduki kursi DPR, tetapi tanggung jawabnya mengatur kehidupan jutaan rakyat.
Bukankah ini ironis? Untuk menyusun satu skripsi, seorang mahasiswa harus membaca puluhan buku, menganalisis, dan menulis berbulan-bulan.
Tapi untuk menyusun undang-undang, ternyata tidak selalu perlu buku, bahkan tak selalu perlu gelar tinggi.
Akibatnya, banyak kebijakan terasa dangkal dan reaktif. Bukan karena pejabat itu kurang pintar, tetapi karena kurangnya tradisi membaca dan riset mendalam. Mereka lebih sering membaca slip gaji, bukan buku yang bisa memperluas wawasan.
Dampak Pejabat yang Tak Membaca
Pejabat yang jarang membaca cenderung berbicara tanpa filter, karena mereka tidak memiliki referensi yang memadai untuk menimbang kata-kata maupun kebijakan yang akan diambil.Â
Keputusan yang lahir sering kali bersifat sesaat, hanya mengikuti arus opini publik atau tekanan politik yang datang silih berganti.Â
Tanpa wawasan yang luas, mereka juga kehilangan empati, padahal buku adalah salah satu sarana penting untuk memahami pengalaman dan penderitaan orang lain.
Sebaliknya, pejabat yang membiasakan diri membaca akan tampak berbeda. Bahasa yang mereka gunakan biasanya lebih terukur, penuh logika, dan didukung data yang kuat.Â
Kebijakan yang mereka hasilkan pun lebih matang, karena berakar pada pemahaman sejarah sekaligus mampu memproyeksikan masa depan. Dengan wawasan yang luas membuat empati mereka pun ikut berkembang, sehingga setiap keputusan yang diambil lebih berpihak kepada rakyat, bukan sekadar memenuhi kepentingan sesaat.
Solusi: Buku sebagai Kompas Kebijakan
Saya sendiri harus jujur, literasi saya pun belum sempurna. Beberapa buku penting yang sering disebut orang, bahkan belum sempat saya baca.Â
Tapi dari pengalaman hidup dan pekerjaan, saya merasakan betul betapa membaca dapat memperluas wawasan dan memperdalam empati. Karena itulah saya berharap hal ini tidak terjadi pada para pejabat.
Jika pejabat benar-benar ingin memajukan bangsa, membaca buku seharusnya menjadi kebiasaan. Bayangkan jika seorang pejabat membaca buku seperti Indonesia Menggugat karya Soekarno, ia akan memahami sejarah perjuangan bangsa ini secara lebih mendalam.Â
Jika ia menamatkan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, empatinya terhadap ketidakadilan sosial tentu akan semakin terasah. Atau saat membaca buku-buku kebijakan publik modern seperti Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman, ia akan memiliki landasan ilmiah untuk mengambil keputusan yang lebih bijak dan terukur.
Selain membaca secara pribadi, pejabat juga bisa menumbuhkan budaya literasi di lingkungannya. Misalnya: membuat klub membaca di instansi pemerintahan, memasukkan buku ke dalam program pengembangan diri, atau bahkan menjadikan buku sebagai simbol kepemimpinan yang hidup, bukan sekadar pajangan di rak kantor.Â
Langkah-langkah ini, mungkin dapat membawa dampak besar bagi kualitas kebijakan dan masa depan bangsa.
Penutup: Bus Literasi
Selama pejabat kita lebih senang membaca slip gaji daripada membaca buku, jangan heran jika guru S1 tetap hidup pas-pasan, sementara lulusan SMA di kursi parlemen bisa hidup bergelimang.
Mungkin suatu hari nanti, calo literasi itu benar-benar ikut naik bus pengetahuan, membawa rakyat menuju masa depan yang lebih cerah. Tapi untuk sekarang, kita masih harus bertanya: "Pejabat kita, buku terakhir yang mereka baca itu apa, ya?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI