Dulu Pejabat Kita Kutu Buku
Bandingkan dengan pejabat masa lalu, para pendiri bangsa yang benar-benar pecinta buku.
Kita mengenal Soekarno, yang sejak muda tekun membaca buku sejarah dan politik hingga bisa memformulasikan ide-ide besar tentang kemerdekaan.
Ada Mohammad Hatta, yang bahkan membawa koleksi bukunya saat diasingkan ke kepulauan Banda. Buku bagi mereka adalah bahan bakar perjuangan, bukan sekadar properti pemanis ruangan.
Pendiri Budi Utomo, tonggak kebangkitan bangsa, juga lahir dari lingkungan akademis yang erat dengan buku. Mereka membaca, berdiskusi, lalu bertindak. Tak heran jika kebijakan yang mereka lahirkan memiliki visi jauh ke depan dan berakar pada pengetahuan.
Sekarang? Ijazah Minim, Omongan Maksimal
Lalu, bagaimana dengan pejabat hari ini? Tak jarang kita melihat mereka mencak-mencak di televisi, mengeluarkan pernyataan emosional tanpa dasar, bahkan saling sindir layaknya acara gosip.
Ijazah minimal SMA sudah cukup untuk menduduki kursi DPR, tetapi tanggung jawabnya mengatur kehidupan jutaan rakyat.
Bukankah ini ironis? Untuk menyusun satu skripsi, seorang mahasiswa harus membaca puluhan buku, menganalisis, dan menulis berbulan-bulan.
Tapi untuk menyusun undang-undang, ternyata tidak selalu perlu buku, bahkan tak selalu perlu gelar tinggi.
Akibatnya, banyak kebijakan terasa dangkal dan reaktif. Bukan karena pejabat itu kurang pintar, tetapi karena kurangnya tradisi membaca dan riset mendalam. Mereka lebih sering membaca slip gaji, bukan buku yang bisa memperluas wawasan.