Dampak Pejabat yang Tak Membaca
Pejabat yang jarang membaca cenderung berbicara tanpa filter, karena mereka tidak memiliki referensi yang memadai untuk menimbang kata-kata maupun kebijakan yang akan diambil.Â
Keputusan yang lahir sering kali bersifat sesaat, hanya mengikuti arus opini publik atau tekanan politik yang datang silih berganti.Â
Tanpa wawasan yang luas, mereka juga kehilangan empati, padahal buku adalah salah satu sarana penting untuk memahami pengalaman dan penderitaan orang lain.
Sebaliknya, pejabat yang membiasakan diri membaca akan tampak berbeda. Bahasa yang mereka gunakan biasanya lebih terukur, penuh logika, dan didukung data yang kuat.Â
Kebijakan yang mereka hasilkan pun lebih matang, karena berakar pada pemahaman sejarah sekaligus mampu memproyeksikan masa depan. Dengan wawasan yang luas membuat empati mereka pun ikut berkembang, sehingga setiap keputusan yang diambil lebih berpihak kepada rakyat, bukan sekadar memenuhi kepentingan sesaat.
Solusi: Buku sebagai Kompas Kebijakan
Saya sendiri harus jujur, literasi saya pun belum sempurna. Beberapa buku penting yang sering disebut orang, bahkan belum sempat saya baca.Â
Tapi dari pengalaman hidup dan pekerjaan, saya merasakan betul betapa membaca dapat memperluas wawasan dan memperdalam empati. Karena itulah saya berharap hal ini tidak terjadi pada para pejabat.
Jika pejabat benar-benar ingin memajukan bangsa, membaca buku seharusnya menjadi kebiasaan. Bayangkan jika seorang pejabat membaca buku seperti Indonesia Menggugat karya Soekarno, ia akan memahami sejarah perjuangan bangsa ini secara lebih mendalam.Â
Jika ia menamatkan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, empatinya terhadap ketidakadilan sosial tentu akan semakin terasah. Atau saat membaca buku-buku kebijakan publik modern seperti Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman, ia akan memiliki landasan ilmiah untuk mengambil keputusan yang lebih bijak dan terukur.