Syukurlah, sampai hari ini belum pernah terjadi kasus keracunan di sekolah kami. Tapi tidak semua sekolah seberuntung itu.
Guru SD: Kerepotan dan Tekanan untuk Diam
Seorang teman guru di sebuah SD berbagi cerita yang membuat saya ikut prihatin.
Anak-anak SD, kata dia, butuh perhatian ekstra saat menerima dan menghabiskan makanan. Guru harus memastikan mereka makan dengan aman, mengawasi agar tidak tersedak, bahkan membujuk yang ogah makan.
Beban kerja ini jelas tidak ringan, sementara tanggung jawab formal tidak selalu sebanding.
Lebih mengejutkan lagi, ia mengaku diminta menandatangani surat pernyataan oleh pihak katering.
Isinya, ia tidak boleh membocorkan keluhan atau masalah keluar, seandainya terjadi persoalan dalam pelaksanaan MBG.
Saya terdiam mendengarnya.
Bukankah program publik yang dibiayai APBN seharusnya transparan?
Jika guru dipaksa diam, bagaimana mungkin masyarakat tahu jika ada masalah?
Dalam kasus keracunan atau kualitas makanan yang buruk, siapa yang akan bertanggung jawab?
Rasanya tidak adil jika guru dijadikan tameng, sementara pihak penyedia dan pemerintah bersembunyi di balik tanda tangan.
Di Tempat Lain: Makanan Lezat, Siswa Berebut
Namun, cerita tentang MBG tidak selalu suram.
Seorang kolega dari SMA di wilayah lain bercerita penuh antusias. Di sekolahnya, kualitas makanan dijaga dengan baik.
Menunya menarik, rasanya enak, dan aromanya menggoda sejak pertama kali dihidangkan.
"Anak-anak bahkan berebut, Guru juga ikut antre dengan senyum gembira," ujarnya sambil tertawa.
Di sana, MBG benar-benar menjadi momen yang ditunggu-tunggu, bukan sekadar rutinitas program pemerintah.
Cerita ini memberi harapan.
Ternyata, ketika pihak katering serius memperhatikan kualitas, MBG bisa sukses dan membahagiakan semua pihak.
Perbedaan yang begitu kontras antara sekolah kami dan sekolahnya menunjukkan bahwa kualitas pelaksanaan sangat menentukan.
Refleksi: Menjaga Asa di Balik Ompreng