Tanpa diduga, ia merogoh tas pinggangnya dan mengeluarkan serenceng obat. Saya tertegun. Rasanya seperti baru saja ditegur sekaligus ditenangkan dalam satu waktu. Di satu sisi, kata-katanya terasa keras. Tapi di sisi lain, ada empati yang tersembunyi: ia ingin saya tahu bahwa tidak ada yang salah dengan minum obat.
Namun ego saya saat itu memberontak: saya takut dianggap lemah, takut ketergantungan, bahkan sempat berpikir, "Apakah saya gila?"
Saya mencoba menolak secara halus. Tapi dokter langsung memotong:
"Kamu jangan takut minum obat! Memang kenapa, merasa tidak normal ya? Jangan begitu. Kalau mau sembuh, ikuti pengobatan ini."
Di momen itu, saya merasa kalah dalam debat yang tak pernah benar-benar dimulai. Saya pulang dengan resep di tangan dan hati yang masih bimbang.
Obat sebagai Jembatan, Bukan Penjara
Hari-hari pertama minum obat terasa aneh. Malam yang biasanya penuh kecemasan perlahan menjadi waktu istirahat yang benar-benar tenang.
Saya bisa tidur. Terlalu nyenyak malah, sampai siang hari pun saya sering masih mengantuk.
Setiap kali kontrol, dokter selalu bertanya,
"Bagaimana? Enak tidak?"
Jika saya berkata, "Masih cemas, masih sulit tidur," dosis akan dinaikkan.
Jika saya menjawab, "Sudah lebih baik," dosis akan diturunkan perlahan.
Proses ini terasa seperti menyetel alat musik, mencari nada yang pas agar hidup saya kembali harmonis.
Bertahun-tahun kemudian, saya bahkan berhasil lepas dari obat sepenuhnya selama tiga tahun.
Saat itu saya merasa seperti pemenang yang akhirnya bebas dari rantai. Meski kecemasan kadang masih mampir, saya bisa menepisnya dengan teknik terapi yang sudah saya pelajari.
Namun, hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan. Ketika beban mental meningkat, serangan kecemasan kembali hadir.
Akhirnya, saya memutuskan kembali ke dokter, kali ini tanpa rasa malu. Saya berkata jujur,