Tongkat Sunan Kalijaga: Kisah Kepatuhan yang Hilang Makna
Saya jadi teringat kisah Sunan Kalijaga, yang mendapat namanya karena kepatuhan luar biasa kepada gurunya, Sunan Bonang.
Ia disuruh menjaga tongkat yang ditancapkan di tepi kali, dan ia patuh tanpa bertanya. Hari berganti minggu, tubuhnya sampai berlumut.
Ketika Sunan Bonang kembali, beliau berkata:
"Mulai sekarang engkau disebut Kalijaga, yang menjaga kali."
Kisah ini dulu dimaknai sebagai simbol kesetiaan dan kesabaran seorang murid.
Namun, bayangkan jika peristiwa ini terjadi di era digital sekarang:
- Video Sunan Kalijaga duduk berlumut viral di TikTok.
- Judul berita: "Guru Eksploitasi Murid, Polisi Turun Tangan!"
- Netizen menyerbu dengan komentar pedas, melupakan makna di balik ujian spiritual tersebut.
Inilah tantangan zaman kita: makna yang mendalam sering tergerus oleh sorotan yang dangkal.
Menghidupkan Kembali Ruh Pendidikan Lokal
Saya percaya, kearifan lokal seperti guru digugu jeung ditiru dan asli ulah kasilih ku junti masih relevan, bahkan sangat dibutuhkan di era digital.
Teknologi boleh berubah, metode belajar boleh modern, tetapi nilai dasar pendidikan tidak boleh hilang.
Menghormati guru bukan berarti membenarkan semua tindakan mereka tanpa kritik.
Menghargai kearifan lokal bukan berarti menutup diri dari perkembangan zaman.
Namun, kita perlu akar yang kuat, agar tidak mudah goyah ketika budaya luar datang membawa arus yang deras.
Kalau kita kehilangan akar, pendidikan akan berubah menjadi sekadar transaksi: guru hanya pengajar, murid hanya pencari nilai, dan masyarakat kehilangan identitasnya.
Sebaliknya, jika kita memelihara akar, maka kita bisa memadukan kemajuan modern dengan jati diri bangsa yang unik dan mandiri.
Penutup: Tongkat yang Harus Kita Jaga
Di masa lalu, Sunan Kalijaga menjaga tongkat sebagai ujian kepatuhan.
Di masa kini, "tongkat" yang harus kita jaga adalah nilai luhur pendidikan itu sendiri.
Pepatah Sunda telah mengingatkan kita sejak lama: