Belajar dari Pengalaman di Tempat Lain
Sebagai warga yang juga pernah mengikuti pengajian di komplek lain, saya melihat betapa pentingnya transparansi. Di komplek saya, ada majelis ta'lim yang juga menggunakan rumah sebagai tempat pengajian. Bedanya, sejak awal identitasnya jelas dan terbuka.
Di depan rumah majelis itu, terpampang plang besar berwarna biru-putih dengan logo organisasi, nama resmi majelis taklim, hingga nomor Keputusan Menteri Hukum dan HAM. Papan itu mudah dibaca siapa saja yang lewat. Setiap kegiatan diumumkan di grup warga dan selalu ada koordinasi dengan RT/RW.
Jamaahnya memang datang dari berbagai daerah, bahkan luar kota. Tapi karena warga sekitar sudah tahu, parkir bisa diatur, keamanan terjaga, dan tidak ada rasa curiga. Justru suasana yang tercipta hangat dan saling mendukung.
Contoh ini meyakinkan saya bahwa kegiatan keagamaan di rumah pribadi bisa berjalan baik, asalkan transparansi dijaga dan komunikasi dengan warga tidak terputus.
Menjaga Suasana, Menjaga Tetangga
Kasus Umi Cinta menunjukkan bahwa gesekan kecil yang dibiarkan bertahun-tahun bisa memuncak karena satu isu yang viral. Dalam konteks kehidupan bertetangga, sebaiknya komunikasi dan keterbukaan dijaga sejak awal, apalagi jika kegiatan bersifat rutin dan melibatkan banyak orang.
Kini, rekonsiliasi sedang diupayakan. Sebagai warga yang setiap hari melintas di gerbang itu, saya berharap semua pihak dapat mengambil hikmah. Kegiatan keagamaan tetap berjalan dengan damai, warga merasa aman dan nyaman, dan tidak ada lagi prasangka yang meruncing.
Karena pada dasarnya, hidup bertetangga adalah seni menjaga harmoni ketika: keterbukaan, saling menghargai, dan kepedulian adalah kunci.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI